25 - {SELF REFLECTION}

5.4K 1.5K 345
                                    

Kusempatkan datang ke pemakaman Vina siang itu. Untungnya Ko Barra langsung memberi izin tanpa bertanya. Dia justru menawarkan diri untuk mengantar. Semua tugasku selesai tepat satu jam sebelum waktu makan siang sehingga kami bisa segera pergi menghadiri pemakaman. Pikiranku terlalu penuh saat itu untuk menanyakan alasan dia ingin repot-repot.

Aku berusaha membantu sebisaku di rumah duka. Ibu si Kembar sering pingsan, sedangkan Vivi begitu terpukul. Hanya ayah mereka yang nampak hilir mudik menemui para tamu. Edgar dan pengacaranya tiba lebih awal dariku. Kami hanya saling bertegur sapa tanpa mengobrol. Ketika melihat Edgar, Ko Barra langsung menghampiri dan tanpa berkata apa-apa, memberi pelukan singkat. Ada kompromi yang tersirat di balik interaksi mereka.

Hari itu berjalan cepat tanpa terasa.

Ko Barra nggak langsung mengajakku pulang ke rumah usai pemakaman. Kami hanya duduk di mobil yang mesinnya masih menyala, tepat di luar area pemakaman Vina. Para pelayat sudah pulang, termasuk Edgar dan pengacaranya.

"Dia meninggal karena overdosis obat penenang," ujarku lirih memecah keheningan dalam mobil. Ko Barra melihatku, namun nggak mengatakan apa-apa. "Tepat setelah dia menghubungi saya," lanjutku dengan suara bergetar. Baru sekarang dukanya terasa setelah seharian aku memasang wajah datar. "Artinya, dia sudah merencanakan bunuh diri jauh-jauh hari. Menyimpan banyak obat penenang nggak semudah itu buat dilakukan. Apalagi selama berada di bawah pengawasan dokter dan perawat rumah sakit. Selama ini saya dibohongi."

"No," sahut Ko Barra seraya meraih tanganku yang terkepal di pangkuan.

"Saya gagal meyakinkannya untuk hidup lebih lama."

"Bukan salahmu, Rani."

"Lalu salah siapa?" tanyaku.

"Salahkan orang yang membuatnya memutuskan untuk mengakhiri hidup."

"Saya pernah berjanji ke Vina kalau dia akan mendapat keadilan, ternyata saya gagal. Apa yang saya upayakan selama ini berakhir sia-sia. Saya udah nggak bisa nangis, Ko. Di saat-saat seperti ini, emosi saya tiba-tiba lenyap. Saya merasa hampa di dalam. Nggak seharusnya begitu, 'kan?"

Ko Barra menghela napas berat. "We're going home now, okay?" Selama perjalanan pulang ke rumah, Ko Barra terus menggenggam tanganku dan hanya melepasnya ketika harus memindah gigi. Aku pun nggak keberatan. Malah, sepertinya aku yang lebih butuh ketimbang dirinya.

***

Hari-hari berikutnya kulalui bagai mayat hidup. Kujalani rutinitasku seperti biasa, namun tanpa emosi. Aku tidur, bangun, bekerja, dan melakukan segalanya demi menunaikan kewajiban saja. Selain itu, aku merasa nggak terhubung dengan dunia sekitar.

Terkadang aku mendengar sayup-sayup Bu Manda membicarakanku dengan Bu Agatha atau Ko Barra di ruang tamu. Suara mereka terdengar seperti gumaman. Yang dibicarakan pun itu-itu juga.

'Bagaimana keadaannya?'

'Apa dia ke luar kamar selain buat bekerja?'

'Dia ingin makan sesuatu?'

Aku tahu mereka mengkhawatirkanku. Lama-lama aku jadi kesal diperlakukan seperti seseorang yang terlalu rapuh. Sebelum mereka ada, aku bisa melalui semua fase terburuk sendirian. Keadaan jadi berbeda sejak mereka tahu aku punya jadwal temu rutin dengan psikolog.

Pintu kamarku diketuk ketika aku sedang menyisir rambut di depan cermin. Bu Manda membuka pintu dari luar.

"Ran, Ibu mau dateng ke arisan kompleks dulu, ya?"

Aku mengangguk tanpa menoleh.

"Kaif ikut Ibu. Kata Bu Aga, arisannya baru dibuka, jadi kayaknya agak lama. Pake acara kenalan sama makan-makan."

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now