8 - {WEDDING DREAM}

5.7K 1.5K 285
                                    

Buat kalian pembaca setia yg paling nungguin bab kondangan, nih kukasih bonus. Ramaikan komennya, tekan bintangnya, promosiin ceritanya (tenang, ga maksa), biar makin banyak yg ikut terbarra-barra sama koko kesayangan kita semua.

Tolong tandain kalau ada typo, tengkyu ...

***

Resepsi Gandhi dan Alana merupakan versi mewah dari konsep pernikahanku. Para undangan hanya perlu menempelkan undangan di alat pembaca QR Code sehingga daftar tamu yang hadir otomatis langsung terisi.

"Hadiahnya mau dititipkan di sini, Bu?" Seorang penerima tamu bertanya ramah padaku. Pandangannya terarah pada kotak kado berbungkus merah yang kutenteng di satu tangan.

Aku menggeleng sopan. "Saya kasih sendiri ke pengantin."

Dia mempersilakanku memasuki venue megah yang menjadi lokasi acara. Ketika berjalan masuk, rasanya familier sekaligus asing. Aku dan Gandhi pernah datang bersama beberapa kali untuk melihat-lihat. Alana juga pernah kuajak kemari saat aku ada janji dengan wedding organizer. Waktu itu, kami merancanakan pernikahanku. Nggak kusangka malam ini aku justru datang sebagai tamu di pernikahan mereka.

Aku mengenali sebagian besar tamu yang datang sebagai advokat junior, senior, dan pejabat kepolisian. Bisa dimengerti alasan mereka tiba selarut ini. Selain karena kesibukan, biasanya mereka ingin mengobrol lebih leluasa. Berbeda denganku yang sengaja datang terlambat karena ragu di saat-saat terakhir.

Aku melihat orang tua Gandhi berada di dekat pelaminan bersama besan mereka. Entah bagaimana respon keluarga itu ketika melihatku nekat datang seorang diri seperti ini. Aku belum siap menyapa mereka. Setidaknya perlu mengisi perut dulu agar ada sesuatu yang bisa kumuntahkan sepulangnya dari sini.

"-berubah dalam hitungan minggu. Masa mereka salah nyetak nama mempelai, sih?"

Tanpa sengaja kudengar pembicaraan pasangan di sebelahku.

"Tapi undangannya juga berubah walaupun informasi di dalamnya sama. Kecuali nama mempelai perempuan. Nah, yang berdiri di pelaminan itu siapa? Nama pertama atau yang ke dua?"

Dari obrolan mereka dapat kusimpulkan kalau mereka merupakan kolega Gandhi yang sedang membahas siapa mempelai perempuan yang berdiri di sampingnya. Undangan pertama tercetak namaku, sedangkan yang ke dua adalah Alana. Berhubung aku nggak pernah dikenalkan, dan rencana pernikahan dengan Alana cukup mendadak, wajar jika mereka bingung siapa sebenarnya istri Gandhi.

"Putrinya Pak Nugraha."

"Putrinya ada berapa? Jangan-jangan dijodohin. Nggak dapet kakaknya, jadi sama adeknya."

"Hush!" Mereka terkekeh. "Seingatku Pak Nugraha cuma punya satu anak perempuan. Lagian Gandhi itu emang tertutup banget kalau berhubungan sama kehidupan pribadi. Temen-temen di kantor cuma tahu dia pacaran lama sama istrinya yang sekarang. Bertahun-tahun."

"Serius?"

"Iya. Setia banget, 'kan?"

"Itu sih karena mereka berjodoh aja."

Kaki-kakiku reflek menjauh, mencari stan makanan paling sepi. Mendengar topik semacam itu nggak akan berefek bagus bagi perasaanku yang masih rentan.

"Ini lebih cocok disebut lumpia daripada spring rolls." Seorang laki-laki yang nggak kukenal menghampiri stan makanan yang sama denganku. "Let's help each other. Saya bisa bawakan kado itu selagi kamu ngambil makanan, sebagai gantinya, kamu ambilin makanan untuk saya."

Aku menatap laki-laki itu seolah tumbuh kutil raksasa di hidungnya.

Dia tertawa melihat ekspresiku. "Saya udah satu jam di sini. Bisa dibilang, saya tahu mana makanan yang recommended karena saya udah mencoba semuanya."

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang