4 - {TAWARAN ≠ BANTUAN}

6.6K 1.6K 165
                                    

Tangan Bu Manda gemetar melihat saldo di buku rekening. Rautnya pucat pasi.

"Saya ... saya nggak ngerti seseorang bisa punya uang sebanyak ini setelah meninggal," ujarnya agak terbata. "Kita apakan uang ini, Ran?"

Jika ditotal, saat ini kami lebih kaya hampir 300 juta daripada kemarin. Setelah melalui proses panjang dan melelahkan, uang santunan kematian ayah sekaligus asuransinya dapat dicairkan ke rekeningku. Aku juga baru tahu kalau ayah mendaftarkan namaku sebagai ahli waris di semua polisnya.

Itu memang uang yang sangat banyak. Aku ingin berinvestasi supaya nggak habis sia-sia. Siapa tahu uang-uang itu akan beranak pinak dan bisa memperbaiki kehidupan kami kelak. Masalahnya, aku buta masalah keuangan, apalagi investasi. Nggak ngerti mulai dari mana. Aku juga nggak mudah percaya orang. Bagaimana pun, itu uang hasil kerja keras ayah semasa hidup.

"Bu, saya mau diskusi tentang sesuatu." Aku duduk di sebelahnya. "Rumah ini baru saya bayar dp-nya aja. Cicilannya per bulan sekitar empat setengah. Bunga flat selama satu tahun pertama." Aku hampir menangis membayangkan jumlah uang yang harus kudapatkan tiap bulan demi membayar rumah ini, sekaligus biaya hidup kami sehari-hari.

Bu Manda mengerjapkan mata sambil memandangku. "Dari mana kamu dapat uang mukanya, Ran?"

"Tabungan pribadi saya sejak kerja di kantor papanya Lana, Bu." Kuseka sebulir air mata yang jatuh ke pipi. "Saya udah resign. Masukin lamaran ke mana-mana tapi belum ada panggilan. Jarang ada perusahaan yang mau nerima lulusan SMP kayak saya. Saya tahu Bu Manda kecewa liat saya yang sekarang. Dulu nekat kabur dari rumah, drop out, hidup nggak jelas. Sewaktu-waktu, pihak bank mungkin berkunjung ke sini untuk ngecek kemampuan saya membayar KPR. Soalnya cicilan itu auto-debet dari rekening dan saya batal nikah."

Faktor pernikahan menjadi salah satu pertimbangan pihak bank menyetujui pembiayaanku. Dua pemasukan dalam rumah tangga lebih baik daripada satu. Dulu aku percaya diri karena akan segera menikah dengan Gandhi. Gajinya lebih dari cukup untuk membayar cicilan tiap bulan.

Kenapa aku nekat pindah sementara aku nggak sanggup membayar rumah ini?

Astaga, pikiran itu baru terbersit sekarang setelah melihat saldo rekeningku sendiri.

Bu Manda mengembalikan buku rekening padaku. "Tujuan saya ngeklaim asuransi itu 'kan buat kamu dan Kaif kalau membutuhkan. Saran saya, kita pakai uang itu untuk modal. Kamu nggak usah ngelamar-ngelamar lagi. Kita bikin usaha sendiri aja, Ran."

Aku menatap Bu Manda bingung.

"Kamu cerita ini karena butuh saran, 'kan?" tanyanya memastikan. "Sebelum kamu cerita-pun, saya udah berniat ngajak kamu bikin usaha rumahan. Jualan sembako di toko. Ditambah katering. Saya bisa masak, kok. Sebagian kita sisihkan untuk biaya pendidikan Kaif, itu pun kalau kamu nggak keberatan. Kita fokus untuk bayar cicilan rumah ini aja, Rani." Bu Manda membetulkan posisi duduknya menghadapku. "Sebagian lagi dibiarkan di rekening auto-debet kamu, buat jaga-jaga. Jadi sementara ini kita hidup ngirit dulu, ya?"

Giliran aku yang mengerjap tak mengerti. Bukan mau meremehkan, tapi Bu Manda menghabiskan hidupnya di kampung. Mengerti sistem auto-debet saja sudah membuatku heran.

Sepertinya Bu Manda tahu arti tatapanku barusan. "Saya pernah kuliah manajemen administrasi sampai D1, Ran. Masalah beginian pasti paham sedikit-sedikit."

Aduh, hatiku rasanya retak. Bu Manda saja bisa kuliah sampai diploma. Sedangkan aku ...

"Selama menikah dengan ayahmu, saya udah terbiasa bekerja, Ran. Ditambah, saya nggak mau ngerepotin kamu waktu numpang di sini." Kalimat Bu Manda menginterupsi pikiranku yang selalu merendah untuk terperosok dalam pesimisme.

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Onde histórias criam vida. Descubra agora