23 - {DARI DIA YANG ISTIMEWA}

5.8K 1.5K 354
                                    

Buat kalian yang kemarin protes nyari Ko Barra. Nih, kukasih sampe puas.

***

Singkatnya, acara makan-makan menang tender dilaksanakan di kantor dengan menu yang dibawa oleh Bu Agatha, Bu Manda, dan Kaif. Semua orang menikmati makanan itu termasuk para pengawas lapangan. Mereka juga memberiku ucapan selamat ulang tahun disertai doa agar cepat mendapat jodoh, sesekali diselingi candaan dengan menyuruh Ko Barra lekas meminangku saja supaya Bu Agatha cepat dapat cucu.

Nggak perlu dijelaskan seberapa merah mukaku saat itu.

Bu Manda, Kaif, dan Bu Agatha pamit pulang tak lama sebelum rapat dimulai. Mereka menolak tawaran Ko Barra untuk mengantar karena tahu dia dibutuhkan dalam rapat ini.

"Sering-sering digerai rambutnya. Cantik, Ran." Bisikan Bu Agatha tepat sebelum beliau pamit pulang terngiang-ngiang di telingaku.

Seumur hidup selama ulang tahunku, baru kali ini aku dihujani banyak doa dan ucapan manis. Dahulu aku biasa merayakannya hanya bersama Gandhi. Alana nggak pernah absen memberi hadiah, begitu pun sebaliknya saat dia yang berulang tahun. Rekan-rekan di LBH nggak terlalu peduli dengan perayaan hari kelahiran. Jadi dapat disimpulkan bahwa hari istimewaku selalu berakhir biasa-biasa saja selama ini. Lalu sekejap berubah di tahun berikutnya. Jangan salah paham. Itu perubahan yang amat kusyukuri. Aku hanya belum terbiasa.

Energi positif terus kurasakan sampai pukul setengah dua belas malam, di mana aku seharusnya beristirahat setelah seharian bekerja dan membuat sambal pesanan untuk Ci Pan, Mamet, dan beberapa teman SMA yang mengontakku kemarin. Ah, aku bersyukur mereka nggak bertanya macam-macam tentang hubunganku dan Alana atau alasanku tiba-tiba pergi tanpa pamit dari reuni.

Getar ponsel mengalihkan perhatianku dari langit-langit kamar yang sejak tadi kutatap lantaran aku sulit tidur. Nama Ko Barra terpampang di layar. Aku langsung bangkit duduk dan menerima panggilannya.

"Hallo?"

"Saya ganggu istirahat kamu, nggak?" tanyanya langsung.

"Enggak," jawabku jujur. "Dari tadi saya ngelamun, susah tidur."

Dia terdiam agak lama.

"Ada apa, Ko? Masalah kantor?"

"No, no!" Dia terdiam lagi. "Keberatan nggak kalau keluar sebentar?"

Kepalaku reflek menoleh ke arah jam dinding. "Mau ngapain malam-malam begini, Ko?" Aku turun dari tempat tidur untuk mengambil jaket di gantungan dekat pintu. Di balik piyama tidur ini, aku nggak mengenakan bra. Jadi lebih baik ditutupi jaket saja demi efisiensi.

"Saya ada perlu. Nggak lama, kok. Five minutes?"

"Oke. Saya keluar sekarang."

Nggak sampai tiga menit, kami bertemu di car portku. Aku sedikit bergidik karena nggak menyangka udara malam ini begitu dingin. Sebelum aku sempat buka mulut, Ko Barra menyerahkan gift bag merah yang ditentengnya dari rumah.

"Apa ini, Ko?" Aku langsung mengintip isinya.

"Masih setengah dua belas. Saya belum terlambat." Jawabannya nggak relevan sama sekali.

"Ini ... hadiah? Buat saya?" Kukeluarkan setangkai bunga mawar merah dari tas. Masih segar. Meski hanya setangkai, wanginya tetap semerbak. "Koko ngasih saya bunga?"

Ko Barra mengusap kepalanya tanpa berani memandangku. "Saya petik di jalan."

"Termasuk pitanya?" Aku menunjuk pita merah muda yang melilit tangkai bunga.

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora