24 - {BESTFRIEND RIVALRY}

5.6K 1.5K 402
                                    

Ada yang rindu, tak?

***

Aku menerima undangan makan siang Edgar di restoran yang sama dengan tempat reuniku kemarin. Waktunya serba nanggung karena dia baru bebas kegiatan pukul tiga sore. Berhubung aku ingin berterima kasih padanya, jadi kuturuti saja.

Pelayan restoran menyiapkan sebuah meja khusus di sebuah gazebo yang memiliki pemandangan outdoor terbaik di sana. Ketika aku tiba, Edgar menyambutku dengan sebuket bunga mawar. Lelaki itu benar-benar berusaha untuk mengesankanku.

"Gimana makanannya?" tanya Edgar setelah aku menyeka ujung bibir dengan serbet.

"Semuanya enak," pujiku tulus. "Ingin saya habiskan, tapi perut saya udah nggak muat." Kuamati sisa makanan di piring-piring di hadapan kami. Sayang sekali jika makanan sebanyak ini dibuang. Kalau ada Ko Barra, pasti semuanya tandas nggak bersisa.

Edgar terkekeh. "Nanti saya bungkusin, deh."

"Makasih, Ko. Berkat undangan Ko Edgar, saya jadi bisa nyoba menu di sini. Saya cuma sempat minum jus jeruk waktu reuni kemarin."

"Padahal tujuan saya rekomendasiin tempat ini ke temen-temenmu supaya kamu nyoba makanannya." Dia pura-pura cemberut.

"Rugi dong udah ngasih diskon?"

Kali ini dia tergelak. "Mau gimana lagi, sudah terlanjur! Untung kakak saya baik, jadi nggak diomelin waktu ngasih diskon tanpa konfirmasi."

Aku merasakan keakraban yang familier dengan Edgar. Nggak seperti peringatan-peringatan yang pernah dikatakan oleh Mamet, Ci Pan, dan Ko Barra, aku melihat Edgar sebagai seseorang yang penuh persahabatan. Dia membantu Vina atas inisiatifnya sendiri. Dia juga memperlakukanku dengan baik meski tahu masa laluku dengan Gandhi dan Alana yang notabene adalah kenalannya.

"Ko Edgar kenal Alana dari Pak Nugraha, kalau Mas Gandhi bagaimana?" Kutanyakan hal yang paling membuatku penasaran sejak aku bertemu dengannya di resepsi.

"Gandhi ..." Edgar nampak sedang mengingat-ingat. "-dia advokat di firma hukum milik teman papa saya. Kami pernah ketemu beberapa kali karena saya diharuskan Papa bergaul dengan orang-orang seperti mereka. Ada benefitnya. Saya kenal banyak advokat yang akhirnya jadi rekan bisnis. Mereka beli properti lewat saya." Lelaki itu menuangkan segelas air untukku. "What's your story?"

"Tentang apa?"

"Anything. Oh, especially about Vina. Bagaimana kamu menyelamatkannya?"

Kuulur waktuku untuk menjawab dengan menghabiskan segelas air yang baru dituangkan olehnya. "Vivi menghubungi saya lewat media sosial," ujarku memulai. "Dia minta bantuan untuk mencari kakak kembarnya yang nggak pulang berhari-hari. Vivi curiga kalau kakaknya sedang bersama pacarnya. Singkatnya, saya bersedia dan mulai penyelidikan mandiri. Vina kami temukan di rumah pacarnya dalam keadaan-" Aku menelan ludah. Mengenang kondisi saat Vina ditemukan nggak pernah terasa mudah bagiku.

"Gimana caramu menemukan dia, sedangkan keluarganya saja nggak bisa?"

"Saya orang yang gigih, Ko." Aku mengedikkan sebelah bahu. Menemukan Vina lebih sulit dari yang coba kusampaikan. Aku harus bertanya ke semua orang lalu berakhir diusir, mendatangi banyak tempat, serta menguntit teman-teman Samuel dan keluarganya. Karena terganggu dengan kemunculanku yang konsisten hampir tiap hari, orang tua Samuel murka padaku. Pada akhirnya mereka lah yang malu dan ujung-ujungnya amat membenciku.

"Saya bisa lihat kalau kamu memang seorang yang gigih." Edgar tersenyum. "Apa kamu akan datang ke sidang besok?"

Aku menggeleng. "Lebih baik saya nggak datang. LBH sudah mewakili saya."

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now