19 - {UNBOTHERED PROBLEM}

5.3K 1.4K 243
                                    

Hai, semua!
Sebagian besar dari kalian mungkin udah pada tau kalo Under The Trumpet Tree jadi bagian dari event Flower Series 2022 yang nantinya akan diterbitkan oleh Karos Publisher. Oleh karena itu, cerita di WP dan di buku nanti pasti ada perbedaan. Part di WP ini nggak akan lebih dari 30 (semoga), sedangkan di buku bisa sampe muntah-muntah.

Kenapa gitu?

Biar teman-teman pembaca yg nyisihin uang buat beli bukunya dapat treat, dong. Masa udah keluar uang beli buku, isinya sama aja?

Jadi ... aku kasih disclaimer dari awal, ya. Supaya nggak PHP di akhir-akhir nanti.

Untuk sementara, kalian bisa nikmati dulu yang bisa kukasih di WP. Selamat akhir pekan semuaaa, and enjoy!

NB: Biar lebih afdol, bisa tuh dibaca ulang bab 18. Soalnya adegan masih nyambung sama yg kemarin. Tolong tandain kalau ada typo, yes. Mwah <3

***

"Seumur hidup saya berusaha berdamai dengan diri sendiri sampai saya pernah merasa hidup sudah nggak ada artinya." Entah apa yang ada di pikiran Ko Barra sekarang. Dia lah yang memaksaku bicara, jadi sekalian saja Ko Barra lihat betapa menyedihkan wanita di hadapannya ini.

"Kamu nggak harus berjuang sendirian," ujarnya setelah lama terdiam. Ia perlahan membuka kedua tanganku yang mengepal lalu menggenggamnya. Dia nggak kelihatan risi saat menyentuh telapak tanganku yang dingin dan basah oleh keringat.

"Sebelum saya menjadi gila, saya minta bantuan profesional. Psikolog yang menangani saya sekarang adalah psikolog yang pertama saya temui dulu. Dia lah yang merekomendasikan konseling dengan psikiater karena waktu itu ... amat parah."

Diam-diam tangan Ko Barra yang lain melepas sabuk pengamanku. Dadaku jadi lebih lega setelah sejak tadi aku merasa agak sulit bernapas. Bukan hanya itu, Ko Barra juga menghapus air mata di pipiku dengan punggung tangannya. Itu gestur yang membuatku merasa diterima dan didengar.

"Koko tahu gimana rasanya putus asa sampai ingin mati?" tanyaku dengan suara parau.

Di luar dugaan, dia justru mengangguk. Satu tangannya masih menggenggamku. Otot-ototku mulai rileks di bawah genggamannya yang hangat.

"Sewaktu adik saya meninggal karena lupus, lalu disusul papa saya. Saya juga anak yatim, seperti kamu."

Bibirku yang tadinya mengatup kini separuh terbuka.

"Adik saya seumuran Kaif sewaktu dia meninggal. Kami nggak punya banyak fotonya di rumah karena selama dia hidup, keluarga saya sibuk mengobatinya di rumah sakit. Namanya Dilara. Saya biasa panggil dia Mei Di." Ko Barra meneruskan. "Sebulan setelah Mei Di dimakamkan, papa saya meninggal karena kecelakaan. Sejak itu saya menjadi satu-satunya laki-laki di rumah." Dia menggelengkan kepala saat mengenang momen itu. "Mama saya selalu kelihatan tegar di hari-hari biasa, tapi saya tahu beliau diam-diam menangis setiap malam di kamar. Saya nggak bisa menghiburnya."

Tanpa sadar, aku meremas tangannya, seolah aku bisa menyalurkan ketabahan.

"Terkadang mama saya lupa kalau masih punya anak di rumah, sering linglung. Waktu itu saya nggak bisa masak dan cuma tahu belajar, jadi Mama sering memesan sambal buatan ibumu buat lauk makan saya sehari-hari. Sambal itu memberi saya kesan mendalam karena membuat saya teringat masa-masa ketika hidup keluarga saya berada di titik terendah. Kami kehilangan dua anggota keluarga sekaligus." Ko Barra menghapus air mata lain di pipiku dengan tangannya. Mengherankan. Dia yang bercerita, tapi malah aku yang sedih. "Sometimes we have to go through shit, Rani. Itu fase yang harus kita lewati untuk mengingatkan bahwa kita masih manusia. Bukan berarti saya meremehkan perasaanmu apalagi membandingkan hal yang sudah kita alami. Saya hanya ingin bilang kalau kamu nggak sendirian."

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now