15 - {PERHATIAN KECIL}

5.7K 1.4K 356
                                    

Aku bangun pagi buta untuk memasak. Semalam aku sudah berbelanja kebutuhan dapur untuk memasak hari ini. Menu yang kubuat nggak terlalu merepotkan. Hanya menu sehari-hari yang biasa dimakan Kaif dan Bu Manda. Bedanya, hari ini aku membuat banyak sambal kecombrang. Sambil mendengar adzan subuh yang bersahut-sahutan, aku mengupas bawang dan mengiris bunga kecombrang sendirian di dapur. Hatiku dipenuhi perasaan hangat. Setiap kali aku melakukan ini, rasanya ada ibu yang berdiri di sampingku untuk menemaniku memasak.

Sambil mengenang masa kecil, kupenuhi dapur dengan aroma bumbu dan rempah. Bu Manda bangun untuk sholat subuh tepat setelah aku usai beribadah.

"Harum banget, Ran?" Bu Manda tersenyum lemah.

"Saya masak sambal kecombrang. Mau dibawa ke kantor buat dibagi ke teman-teman." Kulipat sajadah untuk dikembalikan ke tempatnya. "Nanti Bu Manda sama Kaif sarapan, ya. Udah saya siapin semua. Makan siang tinggal manasin soalnya saya masak agak banyak hari ini."

"Ran," Panggilannya membuatku mendongak. "Saya mau minta maaf sama kamu. Kayaknya selama ini saya kurang bisa membawa diri. Saya terbiasa hidup di kampung, jadi perlu waktu adaptasi."

Aku menggeleng. "Justru saya yang seharusnya minta maaf karena kejadian kemarin. Saya nggak bermaksud ngebentak Bu Manda." Aku menggigiti bagian dalam pipiku. "Sarapan yang Bu Manda buatin waktu itu mengingatkan saya sama almarhumah ibu saya."

Bu Manda menyentuh pundakku, sesekali mengusapnya. "Ayah kamu yang ngasih tahu saya segala hal yang kamu suka. Saya yang lancang karena udah berusaha menggantikan posisi yang seharusnya nggak tergantikan di hatimu, Ran."

Aku tersenyum mendengarnya. Mataku terasa berkaca-kaca sekarang.

"Ayo lupakan kejadian yang sudah-sudah, ya, Ran? Kita mulai lembaran baru. Kamu, saya, dan Kaif. Saya amat berharap agar kita menjadi keluarga yang utuh." Dia menyentuh dadaku, tepat di jantung. "Ikhlaskan semua yang sudah berlalu. Kita jalani hidup baru sama-sama."

Oh, seandainya Bu Manda tahu kalau selama ini aku berusaha mati-matian mengikhlaskan semuanya. Namun masa lalu lah yang membelengguku. Hal-hal yang ingin kulepaskan seringkali muncul kembali untuk menghantuiku.

"Kita sudah melakukan yang terbaik sampai hari ini, 'kan?" ujarku akhirnya.

***

Sebuah paper bag telah ada di mejaku ketika aku tiba di kantor. Mamet belum datang, jadi aku yakin ini bukan dari dia. Saat kukeluarkan isinya, ternyata sepasang sandal jepit berwarna merah muda. Ukurannya sepuluh nomor di atas ukuranku. Kuhubungi Ijonk di nomor resepsionis.

"Jonk, di meja saya ada sandal. Punya siapa?" tanyaku tanpa basa basi.

"Punya Mbak Rani, 'kan?"

"Lah?" Aku mengernyit. "Siapa yang naruh?"

"Saya, Mbak."

"Disuruh siapa?"

"Pak Barra."

"Kenapa Ko Barra ngasih saya sandal?"

Ijonk terdiam cukup lama. "Saya cuma disuruh beli terus naruh di meja Mbak Rani."

Aku menghela napas. Mungkin Ijonk memang nggak tahu apa-apa. Lebih baik kutanya sendiri pada-

"Saya yang nyuruh, Ran. "

Jantungku hampir melompat keluar karena kemunculan Ko Barra entah dari mana. Dia bersandar di dinding kubikelku. Segera saja kukembalikan gagang telepon ke tempatnya.

Ko Barra mengedikkan kepala ke arah kakiku. "Emang nggak sakit pake hak tinggi terus?" tanyanya. "Saya nitip Ijonk beli sandal buat saya di kantor. Sandal lama saya udah putus. Sekalian beli buat kamu. Mamet udah punya, jadi nggak saya belikan."

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now