10 - {FOUNDER & CO-FOUNDER}

5.6K 1.4K 119
                                    

GLOSSARIUM:

1. Ae : Imbuhan yang artinya sama dengan aja
2. Arek-arek : Anak-anak
3. De'e : Dia
4. Diboyong : Dibawa semua
5. Gendeng : Gila
6. Gerudukan : Berbondong-bondong
7. Gragal : Limbah konstruksi, biasanya berupa puing batu dan pasir
8. Iling : Ingat
9. Isa : Bisa
10. Kabeh : Semua
11. Kancane : Temennya
12. Meneng : Diam
13. Ndak : Tidak
14. Nututi : Sesuai konteks di part ini, artinya cukup. Arti lainnya keburu.
15. Saiki : Sekarang
16. Sek : Sebentar
17. Sing : Yang
18. Tok : Doang
19. Wis : Sudah

***

"Suka coklat, nggak?"

Mamet mendorong kursinya ke arahku. Tangannya memegang sekotak choco pie. Ketika dia tersenyum, ada lesung samar di bawah sudut bibirnya.

"Nggak terlalu." Kuletakkan tasku di meja lalu duduk di kursiku sendiri. Suasana hatiku sering muram di pagi hari. Sewaktu di LBH dulu, aku selalu ngumpet di toilet di jam-jam tertentu karena menangis tanpa sebab. Terkadang aku juga melakukan meditasi singkat sebelum mulai bekerja untuk menaikkan mood. Kebiasaan itu mendadak berhenti sejak aku resign. Kini desakannya muncul lagi.

"Aku Mamet." Cowok hitam manis itu mengulurkan tangan ke arahku.

"Rani," jawabku sambil menjabat tangannya singkat. Sepertinya Ko Barra sudah memaafkan Mamet lantaran kubikel sebelah sekarang berpenghuni. Dari sekian banyak kubikel di sini, dia malah duduk di situ.

"Drafter butuh space besar? Kalau iya, aku bisa pindah ke meja lain," ujarku.

"Justru aku duduk di sini biar ada temennya." Mamet mencondongkan kepalanya ke arahku. "Aku lagi menghindar dari Ci Pan. Kalau duduk sendirian, bisa jadi sasaran empuk. Asal tau aja, Ci Pan orangnya pendendam," sambungnya sambil bisik-bisik.

Lah, gimana nggak dendam? Semisal aku ada di posisi Ci Pan, aku juga nggak akan menerima kehadiran Mamet di perusahaan ini. Dia udah mengkhianati Ko Barra dengan ikut-ikutan resign, lalu pindah ke firma Edgar. Jika Ci Pan memukulnya saat bertemu nanti, aku berjanji nggak akan melerai mereka.

"Ran."

Aku dan Mamet sama-sama terperanjat karena kemunculan kepala botak Ko Barra di atas kubikel. Dia memindai meja kami satu per-satu.

"Nggak ada snack?" tanyanya kemudian. Tanganku otomatis menunjuk kotak choco pie dalam pelukan Mamet. Ko Barra langsung berbinar. "Minta, Met! Belum sarapan."

Mamet menatapku sambil memelas. Aku yakin dia sebenarnya nggak rela camilan itu diserahkan ke Ko Barra. Tapi mau bagaimana lagi? Yang minta 'kan bos.

"Kemarin saya kasih nomor kamu ke konsultan. Mungkin hari ini mereka akan ngehubungin kamu buat kordinasi masalah dokumen keuangan sama pajak." Aku mengangguk mendengar penjelasan Ko Barra. Dia memandangi kami bergantian. "Kalian udah saling kenal, 'kan? Yang akur kerjanya," imbuhnya sebelum berlalu ke ruangannya sendiri. Sesaat kemudian, kepalanya menyembul dari balik pintu. "Hari ini Pandora masuk kerja. Siang nanti kita meeting bareng sama semua pengawas. Rani, bantu saya nyiapin ruang rapat, camilan, sama bahan rapat, ya. Abis ini saya kirim file-nya ke kamu. Tinggal print aja."

Belum sempat aku merespon, Ko Barra menyela. "Camilannya yang banyak, Ran! Minta Ijonk buat nganterin kamu belanja. Nanti kamu bawa kartu debit kas kantor. Ada di lacimu."

Aku dan Mamet saling pandang tanpa sengaja.

"Mood-nya lagi baik," ujar Mamet.

"Biasanya kayak gimana?"

"Pernah nonton film Hulk?" Mamet malah balik bertanya.

Aku mengangguk. "Kayak gitu?"

Giliran Mamet yang mengangguk. "Tapi warnanya nggak ijo. Terus palanya botak. Bayangin aja dulu."

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now