12 - {THE BROKEN SOUL}

5.7K 1.4K 174
                                    

Just in case, seandainya kalian belum tahu. Kesehatan mental itu penting. Hanya karena dia nggak memperlihatkan, bukan berarti dia selalu kuat. Setiap orang punya struggle berbeda karena mereka jadi pemeran utama dalam hidup mereka yang memiliki skenario berbeda pula. Begitu pun dengan kalian. 

Enjoy ...

***

Mbak Elsa nampak terkejut saat melihatku di ruang tunggu. Sudah hampir empat tahun kami nggak berjumpa. Meski begitu, aku tetap mengikutinya di media sosial. Dari sana aku tahu kalau sekarang dia sudah menikah dan punya seorang anak. Aura keibuannya langsung terasa begitu kami bertemu lagi untuk pertama kalinya setelah sekian tahun.

"Rani!" Dia langsung menyambutku. "Kamu ke sini cuma buat nengok, 'kan?" Senyumnya lebar ketika kami duduk bersebelahan.

Ketika aku nggak kunjung menjawab, senyumnya perlahan pudar. Kini ekspresinya kembali profesional. "Sudah tes?"

Aku mengangguk. Tes yang dia maksud adalah DASS, sebuah tes untuk mengukur skala emosi negatif seseorang sebelum menjalani konseling dengan psikolog. Mereka menggunakan hasil asesmen itu supaya tahu kondisiku dalam kategori apa saat ini.

Mbak Elsa bangkit berdiri untuk bicara dengan petugas di belakang kami. "Yang ini biar sama saya aja."

"Tapi Mbak Rani udah bikin janji sama psikolog senior lain, Mbak," sanggah si Petugas.

"Yeslyn, 'kan? Alihkan ke pasien baru yang bikin janji dengan saya besok siang. Lagian jam segini dia belum dateng."

Si Petugas akhirnya setuju.

"Bukannya Mbak Els udah kelar sesi?" tanyaku. Menurut info terakhir dari petugas yang mengurus jadwalku kemarin, jam konseling Mbak Elsa sedang penuh minggu ini.

"Khusus kamu doang, nih." Dia mengedipkan sebelah mata sembari mengajakku masuk ke ruang konseling.

Perasaan melankolis langsung menyambutku begitu menginjakkan kaki ke ruang konseling yang pernah menjadi saksi bisu sehancur apa aku bertahun-tahun lalu. Kursinya masih sama. Aromanya juga sama. Hanya dinding pelapisnya saja yang diganti untuk memperbarui pemandangan interior.

Aku duduk di sofa yang tersedia, sedangkan Mbak Elsa mengambil tempat khusus di depanku. Petugas hanya masuk untuk menyerahkan hasil asesmen. Mbak Elsa mempelajarinya sembari menungguku siap bicara.

Dadaku tiba-tiba terasa sesak. Air mataku menggenang di pelupuk. Isak kecil lolos dari mulutku. Mbak Elsa sigap mengambil sekotak tisu dan meletakkannya di atas pangkuan.

"Ambil napas dalam-dalam, Ran. Hitung sampai tujuh, lalu hembuskan."

Kulakukan sarannya demi menetralkan gelombang emosi negatif yang datang tanpa diundang. Begitu perasaanku baikan, aku mengangguk pada Mbak Elsa.

"Gimana perasaanmu sekarang, Rani?"

Satu pertanyaan sederhana itu menghancurkan pertahananku. Air mataku merebak tak terkendali. Aku menangis sekencangnya sampai tersengal-sengal. Rongga dadaku terasa kian menghimpit. Kurasa aku akan mati saat itu juga.

Mbak Elsa menuntunku untuk mengatur ritme napas agar aku jadi lebih tenang. Itu pun karena aku yang memintanya untuk membuatku berhenti menangis.

"Kemarin saya nyoba minum obat penenang yang udah expired. Lima belas atau dua puluh butir sekaligus," ungkapku setelah berhasil mengendalikan diri. "Belum sampai tertelan. Saya rasa saya masih takut mati. Saya takut dengan apa yang menunggu saya setelah kematian. Jadi saya batal melakukannya," lanjutku.

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now