17 - {PAST STILL HAUNTS}

5.7K 1.5K 493
                                    

Belakangan ini aku sering banget ngulur-ngulur kerjaan. Kewajibanku makin numpuk, tapi aku malas ngerjainnya. Sebagai gantinya, aku nulis. Jangan ditiru, ya. Ujung-ujungnya ntar ribet di belakang.  Do your shit, and get it done fast!

Anw, part yg ini lebih panjang dari yg lain. Soalnya aku suka nantangin kewajibanku yang terus-terusan bikin kepikiran. Aneh, ya?

Yaudah deh, enjoy ...

***

"Ceritakan lebih banyak tentang orang-orang di kantor barumu ini."

Permintaan Mbak Elsa kupikirkan dengan sungguh-sungguh di pertemuan berikutnya. Sejak aku menyebutkan telah diterima bekerja di perusahaan baru yang bidangnya nggak relevan dengan pekerjaanku selama ini, Mbak Elsa nampak tertarik. Dia terus menanyakan hubunganku dengan rekan-rekan kerjaku yang lain.

"Saya belum terlalu dekat dengan Ci Pan. Selain karena jam kerjanya paling fleksibel di antara yang lain, saya nggak punya banyak kesempatan untuk terlibat secara langsung dengan dia," ujarku memulai. "Lalu Mamet, hmm ..." Di kepalaku langsung terbayang reaksi Mamet ketika tahu aku dan Ko Barra nggak menjalin hubungan seperti yang dia kira. "Mamet adalah rekan kerja terbaik yang pernah saya miliki. Bisa diandalkan dan setia kawan. Kesan itu yang paling melekat kuat sejauh ini. Kemudian ada Ko Barra ..." Senyumku terbit begitu saja.

"Dia bosmu, 'kan?"

Aku menganggukkan kepala. "Bagi saya, dia penyelamat. Ko Barra memberi saya kesempatan untuk hidup sekali lagi. Cara dia memperlakukan saya membuat saya merasa seolah-olah ... saya istimewa. Bukan hanya sebagai wanita, tapi juga sebagai manusia. Saya belum pernah bertemu orang seperti dia."

"Ketika kamu bilang istimewa, apa tepatnya yang dia lakukan?"

"Di minggu pertama saya bekerja, dia memberi saya tugas yang mustahil dilakukan anak baru tanpa bimbingan. Mamet menjelaskan sedikit-sedikit lalu sisanya saya pelajari sendiri. Saya sempat tertekan dan menangis di toilet gara-gara tugas itu, tapi anehnya ... nggak sekalipun saya menyalahkan Ko Barra. Saya bekerja amat keras hari itu demi membantunya. Dia udah cukup kesulitan mengurus perusahaan sendirian sebelum saya bergabung."

"Cara kamu memandang situasi cukup menarik, Ran." Mbak Elsa ikut tersenyum setelah mendengar penjelasanku yang panjang lebar. "Apa ada hal istimewa lain yang dilakukan Ko Barra?"

"Dia perhatian sama keluarga saya." Sulit mengabaikan perasaan lega yang melingkupi hatiku saat menyebut mereka sebagai keluarga.

"Kaif dan Bu Manda?"

"Iya. Ko Barra sering membantu keluarga saya tanpa diminta. Ibunya adalah mantan wali kelas saya waktu SMA, dan sekarang kami bertetangga," jawabku.

Mbak Elsa mencatat sesuatu di bukunya.

"Bagaimana hubunganmu dengan Bu Manda dan Kaif belakangan ini?"

Ini pertanyaan yang sudah kuantisipasi sebelumnya. "Kemarin Kaif masuk selokan dekat rumah. Dia pulang dalam keadaan kotor dan bau banget. Mukanya lucu waktu nangis." Tawaku otomatis keluar saat mengingat ekspresi Kaif yang belepotan kotoran hitam. "Saya ngomel sedikit terus mandiin dia. Ketika Bu Manda tahu saya memarahi Kaif, dia nggak balik marah ke saya. Esoknya kami sepakat untuk melupakan kejadian yang sudah lalu dan fokus untuk masa depan aja."

"Saya anggap itu sebuah kemajuan." Senyum masih nggak lepas dari wajah Mbak Elsa. "Bagaimana perasaanmu tentang itu?"

Aku mengedikkan sebelah bahu. "Lega, merasa bersalah karena nggak melakukan itu lebih awal, senang karena akhirnya hubungan kami membaik, entahlah ..."

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now