5 - {KOMPROMI & INVESTASI}

6.2K 1.6K 220
                                    

Rencananya mau update weekend. But whatever. Anggep ini bonus, yak.

Enjoyy ...

***

Wawancara resmiku berlangsung esok harinya. Ko Barra sendiri yang mengundangku buat datang ke kantornya di kawasan Surabaya Barat. Gedungnya nggak terlalu besar. Cuma dua lantai, tapi lumayan luas. Bagi orang awam yang buta desain gedung sepertiku, baik eksterior maupun interiornya terhitung bagus. Hanya saja, nampak lengang. Terlalu lengang untuk ukuran hari Senin yang biasanya menjadi waktu paling sibuk.

Meja resepsionis kosong. Kebetulan aku bertemu Ijonk yang lagi ngepel, jadi langsung diantarkan ke ruang meeting. Kondisi lantai dua juga sama. Nggak ada siapapun selain kubikel-kubikel kosong yang kayak baru ditinggal pemiliknya. Banyak kardus berserakan.

Aku mulai takut. Cemas kalau dijadikan korban penipuan. Seperti investasi bodong, misalnya. Siapa tahu Bu Manda cerita ke Bu Agatha tentang uang asuransi ayah. Lalu Bu Agatha menceritakannya ke Ko Barra.

"Kok nggak ada orang, Jonk? Yang lain pada ke mana?" tanyaku saat Ijonk mendorong pintu kaca ruang rapat.

"Nggak ada yang lain, Mbak. Biasanya memang cuma ada saya sama Pak Barra. Ci Pandora lagi cuti lahiran. Baru masuk dua minggu lagi. Jadi nanti Mbak Rani ada temennya." Ucapan Ijonk terdengar seperti aku pasti datang bekerja besok. "Saya tinggal dulu, ya?" Ijonk nggak memberiku kesempatan untuk bertanya lebih jauh.

Kuenyahkan pikiran buruk tentang niat mencurigakan Ko Barra.

Bunyi pintu yang dibuka dan ditutup sayup-sayup terdengar sampai ruang rapat. Mungkin itu Ko Barra. Tanpa sadar tanganku sudah masuk ke dalam tas untuk meraih semprotan merica yang selama ini kubawa ke mana-mana. Kebiasaan selama bekerja di LBH membuatku selalu was-was terhadap penguntit.

Pintu kaca ruang rapat mengayun terbuka.

"Pagi, Ran," sapa Ko Barra tanpa mengangkat wajah dari lembaran di tangannya. Itu CV yang kukirimkan lewat e-mail kemarin. "Kok nggak duduk?" tanyanya ketika melihatku masih berdiri di dekat pintu masuk.

Kutarik sebuah kursi terdekat lalu duduk di sana, sedangkan Ko Barra duduk di ujung. Sepertinya itu tempat dia biasa memimpin rapat. Supaya nggak terlalu mencolok, kukeluarkan tanganku dari tas pelan-pelan. Semprotan merica sudah ada dalam genggaman, terlindung di bawah meja.

Penampilan Ko Barra hari ini bisa dibilang jauh lebih baik dari kemarin. Aku cukup terkejut ada jas yang muat membalut tubuhnya. Ia mengenakan kaos polo hitam di balik jas itu. Mungkin karena janggutnya hari ini nggak dikepang dua, makanya kelihatan normal.

Buru-buru kugelengkan kepala. Kenapa aku jadi menilai penampilan orang, sih?

"Lumayan lama juga ya kamu kerja di LBH," ujar Ko Barra sebelum meletakkan CV-ku di atas meja lalu memfokuskan seluruh perhatiannya padaku. "Sebelum bahasan kita lanjut ke masalah gaji dan tunjangan, saya mau membicarakan situasi perusahaan saya ke kamu." Ia menyandarkan punggungnya ke kursi, menciptakan suara berderit kecil.

Kasihan banget kursinya.

"Seperti yang kamu lihat, banyak meja kosong di sini. Ditinggal sama penghuninya."

Aku mengangguk mengerti. "Tadi Ijonk bilang yang kerja di sini cuma Koko sama dia."

"Perusahaan saya hampir bangkrut, Rani."

Mulutku sedikit terbuka. Seharusnya aku nggak terkejut. Bu Agatha sudah bilang kalau perusahaan milik Ko Barra sedang bermasalah. Tapi kukira masalahnya bukan hampir bangkrut.

"Terus kenapa Koko ngerekrut saya?" tanyaku bingung.

Ia kembali mencondongkan tubuhnya ke depan dengan kedua tangan terlipat di atas meja. Mimiknya serius. "Saya lagi berusaha bikin perusahaan saya kembali seperti semula. Jadi saya mau minta penyesuaian gaji sama kamu. Selama enam bulan pertama, anggap kamu magang di sini. Gaji yang bisa saya kasih sekitaran 20% di bawah upah minimum."

Under The Trumpet Tree [Published by Karos]Where stories live. Discover now