3. (Masih) Tentang Julian

103 8 2
                                    

Sejak tubuhku sudah masuk di dalam mobil Julian dan duduk tepat di sampingnya, tanpa kalian caci pun aku sudah tau bahwa kepasrahanku waktu itu adalah kebodohan. Sungguh, aku tidak ingin Julian mempermainkanku lagi seperti kemarin-kemarin. Menarik ulur, menerbangkanku terlalu tinggi sebelum kemudian menjatuhkanku lagi ke dasar jurang paling dalam. Tapi entah kenapa aku merasa bahwa kali ini berbeda, tatapan yang diberikan Julian untukku seakan menyiratkan sesuatu yang selama ini aku harapkan. Balasan cinta yang hangat? Entahlah. Sebut saja aku naif, tapi kurasa kesempatan kedua memang tak ada salahnya jika kuberikan untuk manusia yang sempat kukagumi itu.

Kita berdua terhipnotis oleh suasana. Suara guyuran hujan yang mengenai aspal jalan seakan meminta kami berdua untuk tetap diam dan menikmati keheningan yang ada. Ingat, aku adalah seorang capricorn sejati. Memulai percakapan bersama tipikal lelaki seperti Julian tentu akan merusak kegengsianku, aku tidak akan melakukannya—bahkan jika aku dan Julian harus terus saling diam sampai mobil ini selesai mengantarku pulang pun, aku akan memilih untuk tetap diam.

"Raina."

Syukurlah. Julian yang mengambil inisiatif lebih dulu untuk bicara. Aku hanya menoleh, menunggu dia melanjutkan ucapannya.

"Aku tidak ingin kamu pulang dulu."

"Maksudmu?" Aku sedikit bingung, dari pupil mataku yang melebar bisa diartikan bahwa kali ini aku menahan degup jantungku yang memacu lebih cepat.

Julian sama sekali tak menatapku ketika bicara, matanya fokus menatap jalan di depan yang mulai terhalangi oleh lebatnya hujan. "Bolehkah kita jadikan ini sebagai kencan pertama yang mendadak?"

Seketika, aku seperti kehilangan kemampuan untuk merangkai kata. Apa dia bilang? Kencan pertama? Apa itu artinya ada keseriusan yang akan dia bangun setelah ini semua? Jika Julian pikir aku sama bodohnya dengan Raina yang dulu, maka aku harus menegaskan kepadanya bahwa kali ini dia salah menduga.

"Hentikan Julian," ucapku dengan mata terpejam.

Ia sekilas menoleh ke arahku, kemudian kembali fokus dengan setirnya.

"Jika kamu pikir kamu bisa membuatku bingung lagi dengan sikapmu yang labil itu, kamu salah. Aku tidak akan terjebak dengan teka-teki membingungkanmu lagi. Jadi, hentikan ini semua. Tolong."

"Kamu bicara apa sih, Na? Ini hanya sebuah kencan untuk kita saling mengenal lebih jauh lagi. Santai, jangan pikirkan hal-hal yang bahkan sama sekali belum terpikirkan olehku. Kita ikuti saja alurnya akan ke mana. Intinya, sekarang ini aku hanya ingin memastikan bahwa seluruh waktu yang kamu miliki hari ini hanya akan dihabiskan denganku. Mengerti?"

"Tunggu." Aku memperbaiki posisi dudukku, berusaha untuk membuatnya ikut fokus tentang apa yang akan kita bicarakan. "Setelah ini apa, Julian? Setelah kamu memperlakukanku dengan semanis ini, besok-besok perlakuan seperti apa lagi yang akan kamu berikan untuk membuatku berpikir bahwa kamu hanya main-main? Ayolah, kamu pasti tau bahwa setiap manusia punya perasaan. Kamu tentu tidak punya rasa tega untuk melakukan hal sekeji itu terhadapku, kan? Kecuali jika kamu memang manusia yang tidak berhati."

Julian hanya diam. Aku yang sama sekali tak mendapatkan respon akhirnya memilih untuk ikut diam. Sepanjang mobil ini berjalan, dalam hati aku menebak-nebak. Ke mana sekiranya lelaki membingungkan ini akan membawaku. Sampai akhirnya mobil ini terparkir di depan sebuah hotel dengan plang bertuliskan "Rinjani Hotel" di bagian depan. Refleks aku langsung menoleh ke arahnya, dengan mata melotot seakan menuntut penjelasan.

"Tenang. Kalau hujannya sudah reda, akan kuantar kamu pulang."

"Untuk menunggu hujan reda memang harus di sini, ya? Wajar bukan jika sekarang aku takut?"

Julian terkekeh, kemudian tangannya yang lancang itu langsung mengacak-acak rambutku. Hanya itu, namun sukses membuatku lupa bahwa sebaiknya aku menjaga diri. Sejurus kemudian lelaki itu turun, membukakan pintu mobil sebelum menggiringku masuk ke dalam hotel.

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now