9. Usik

31 3 0
                                    

Aku menatap pantulan diriku di cermin dengan seulas senyuman kecil. Waktu itu aku mengenakan dress selutut berwarna broken white dengan motif bunga-bunga daisy kecil. Rambut hitamku yang lumayan panjang kubiarkan terurai dengan sedikit kesan waves. Tak lupa sebuah pita besar yang senada dengan warna dress-ku kusematkan di belakang kepala sebagai pemanis.

Aku tidak perlu memikirkan alasan apapun tentang mengapa ajakan Andre bisa kuterima tanpa pikir panjang. Dia temanku, sungguh tidak ada pikiran lain di kepalaku selain dia yang menempatkan diri sebagai sahabat di mana merayakan kesuksesanku adalah sebuah keharusan baginya. Dengan Andre aku tidak perlu takut dengan laki-laki. Bersama dia, aku merasa aman.

"Na, kau tidak bosan mendengar lagu-lagu ini?" celetuk Andre ketika di tengah perjalanan kami, aku memutar lagu milik Olivia Rodrigo yang berjudul Drivers License.

Aku mendengus sembari memutar bola mata. "Kau tidak bosan mengomentari hal yang sama setiap kali kita bertemu?"

"Bukan begitu. Sepemahamanku, lagu-lagu dari Olivia Rodrigo ini tentang patah hati semua. Apa ini semua ada kaitannya dengan Julian?"

Aku mengernyit, lantas menatapnya dengan sedikit kesal. "Kau berlebihan. Aku hanya suka lagunya."

"Itu dia. Pasti ada alasan mengapa kau begitu cinta dengan lagu-lagu depresi ini," balas Andre dengan matanya yang masih fokus ke jalan.

"Aku mengidolakan penyanyinya, Andre."

"Aku tau. Yang aku tidak tau adalah mengapa kau begitu suka dengan lagu-lagu ini, sampai akhirnya kau menjadi penggemar Olivia? Dia penyanyi baru, alasan mengapa dia terkenal sudah pasti karena ada sesuatu dengan lagu-lagunya. So, kau mau berkelit dengan cara seperti apa lagi sekarang?"

"Terserah kau saja." Aku menghela napas. "Kali ini kau memilih topik random yang jauh dari kata menyenangkan."

Laju mobil yang dikemudikan Andre melambat demi lampu lalu lintas yang menyala merah di depan sana, seakan-akan mendukung Andre untuk memperumit obrolan ini lebih jauh. Andre selalu punya pemikiran random yang selalu mampu membuat kita membicarakannya tanpa akhir. Dia hampir sama seperti Angel, tidak pernah tau kata mengalah.

"Sederhananya begini. Setidaknya, ada dua alasan untuk kita mendengarkan sebuah lagu, Na. When you're happy, you enjoy the music. But when you're sad, you understand the lyric. So ... who's the man that makes you sad?"

Aku menggeleng, mematahkan tuduhan Andre. "Aku mendengarkan lagu ini dengan alasan pertama. Kau ini bicara apa?"

Andre tersenyum kecil, menyandarkan kepalanya pada setir mobil sembari menatap ke arahku. "Kau tetap saja tidak pandai berbohong, Raina."

"Kalau begitu berhentilah untuk berlagak tau segalanya, Andre. Kau tidak perlu lebih jauh menggali tentangku. Kenaliku sesuai porsimu saja. Tidak usah berlebihan."

Andre terdiam. Cukup lama sampai membuatku harus memikirkan kembali kalimat terakhir yang kuucap. Adakah terlalu menusuk?

Ah, sial. Pembicaraan ini membuatku terjebak dalam perasaan tidak enak. Apa yang sudah kukatakan terhadap Andre benar-benar tidak pantas. Aku sadar akan hal itu, aku terlalu berlebihan dan terkesan sensitif untuk Andre yang sebenarnya hanya ingin mencari topik. Aku membuang tatapanku ke arah jendela mobil, meyakinkan diriku bahwa untuk Andre aku memang  tidak pernah harus meminta maaf, dalam kesalahan sekecil apapun. Dia manusia yang paling mengerti aku, yang paling sering memaklumiku.

"Maaf, Na," desisnya kemudian. "Aku hanya tidak suka jika kau masih harus sedih, bahkan di hari bahagiamu ini. Maaf jika dengan begini aku justru gagal memilih topik yang menyenangkan."

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now