5. Bab Terakhir Untuk Julian

61 5 1
                                    

Malam itu aku berusaha pergi, meninggalkan Julian dan masanya yang telah usai. Aku berusaha pergi, tapi pria yang membuatku ingin pergi dari sana itu ... mengejarku.
Aku berlari, hampir menangis karena rasa marah bercampur benci yang memenuhi batinku.

"Tidak usah mengejarku!" teriakku sambil terus berlari, tak peduli dengan keadaan jalan raya yang cukup ramai malam itu. Aku terus berlari, membawa kakiku menapaki trotoar, membiarkan jantungku berpacu lebih cepat agar pikiranku lebih terfokus hanya kepada itu, bukan lagi tentang kemarahanku terhadap Julian. Aku hanya ingin mendengar deru napasku yang memburu, detak jantung yang berdetak tak teratur.

"Na, tunggu!"

Dia terus mengejar, aku tidak peduli. Semakin lama, napasku semakin memburu. Aku menikmati ini semua, ketika satu-satunya suara yang memenuhi pikiran dan telingaku hanyalah suara napasku sendiri yang terengah-engah, suara detak jantung yang bekerja lebih cepat dari batas wajarnya, serta desingan angin yang berdengung di telinga seiring dengan gerakanku yang semakin lama semakin cepat melesat. Setidaknya ... untuk sementara fokusku hanya tentang itu semua, bukan lagi tentang Julian yang sampai saat ini masih mengejar di belakangku. Aku seakan berusaha menciptakan kebisingan yang datang dari diriku sendiri untuk mengalihkan perhatianku dari dia.

Tiba-tiba saja aku merasa sudah terlalu jauh berlari, napasku seperti akan habis, kakiku seakan hampir mati rasa, pun dadaku sesak seolah jantungku akan menyerah—lalu tak lama setelahnya dengan setengah kesadaran aku sudah terjerembab jatuh ke belakang dan terduduk di tanah. Aku berada di ujung pertahananku untuk tidak menangis, bertahan dengan sisa ketegaran yang ada.

"SUDAH KUBILANG TIDAK USAH MENGEJARKU!" bentakku kepada Julian dengan napas tersengal. Aku berusaha menahan napas, mengaturnya bersamaan dengan mataku yang masih kuusahakan lebih keras agar tidak basah. Sedangkan Julian tetap lah Julian. Seorang pria egois yang hanya peduli pada prinsipnya. Saat ini yang dia inginkan hanyalah bicara padaku, sedangkan aku seperti di tempatkan pada situasi di mana aku tidak punya pilihan lain selain diam dan menuruti keinginannya.

"Tidak usah lari lagi, Na. Tolonglah, aku bukan penjahat."

Dengan pelipis yang masih berkeringat dan bahu yang naik-turun mengatur napas—mataku langsung menatapnya. "Merasa tidak bersalah dan menghilang begitu saja setelah kau menghancurkan kehidupan orang lain itu juga termasuk jahat, Jul. Itu bahkan kejahatan terkejam yang pernah dilakukan orang lain terhadapku."

"A-aku minta maaf untuk itu," lirihnya sebelum berusaha meraih tanganku untuk berdiri. Aku menurut, seperti biasa, persis seperti ketika dia memintaku untuk masuk ke mobilnya, sepulangnya kami dari pesta ulang tahun Angel 2018 lalu. Terus kubiarkan otakku memutar ulang segala ingatan tentang betapa bodohnya diriku di masa lalu, pada tahun kelam 2018, agar kini lebih waspada dan tak lagi masuk terlalu jauh ke dalam lingkaran Julian.

"Seandainya bisa, aku ingin mengembalikan semuanya dari awal lagi, Na."

Aku terkekeh remeh tanpa menatap ke arahnya. "Penyesalan memang selalu di akhir, kan, datangnya?"

"Tapi sungguh, Na. Aku benar-benar tidak tahu menahu tentang bagaimana video itu bisa tersebar. Maksudku, baiklah, aku memang salah karena sudah merekam semuanya tanpa sepengetahuanmu. Itu semua kulakukan semata-mata karena aku hanya ingin melakukan apa yang  teman-temanku lakukan. Sebagai remaja yang ingin mencoba segala hal, kupikir itu adalah hal hebat, Na. Aku hanya ingin membuktikan kepada teman-temanku bahwa aku bisa melakukan apa yang juga mereka lakukan. Kau mengerti? Itu semua hanya untuk pembuktian bahwa—"

"Bahwa kau juga bisa menjadi pria brengsek?" sanggahku langsung membungkam Julian. "Sudahlah. Semakin kau bicara, semakin kau menjelaskan betapa akalmu benar-benar tidak sehat."

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now