16. Netra Cokelat & Degup Jantung

18 1 0
                                    

Tiga hari berlalu sejak Rama mengajakku untuk ke toko buku di hari Sabtu nanti. Selama itu pula aku dan Rama semakin intens memiliki obrolan di setiap sosial media yang kita punya. Dia bahkan sudah kupersilakan untuk mengikuti akun Instagram keduaku, dimana isinya adalah hal-hal random yang kubagikan tentang keseharian, keresahan dan curhatan-curhatanku sehari-hari.

Rama semakin hari semakin menyenangkan, membuatku terlambat sadar bahwa aku terlalu cepat merasa nyaman. Entah kenapa hal ini justru membuatku berpikir keras, sebab jika benar aku sudah mulai tertarik kepada Rama, bukankah seharusnya aku merasa takut? Tak bisa kuelakkan bahwa jauh di dalam, sebagian dari diriku masih rapuh. Aku merasa terlalu terburu-buru mencari sembuh untuk traumaku, tanpa perlu memastikan terlebih dulu apakah Rama memang penawar yang tepat atau justru sesuatu yang memang harus kuhindari.

Bagaimana jika nyatanya hanya aku saja yang selama ini terlalu jauh menyimpulkan pertemananku dengan dia? Bagaimana jika rasa sakit itu ... akan terjadi untuk kedua kali? Atau, bagaimana justru jika ke depannya aku malah harus mengorbankan Rama yang tidak tau apa-apa untuk membayar kesembuhanku? Aku bingung sekali, aku masih terlalu rapuh untuk mengusahakan keutuhan hati. Karena dengan membawa kerapuhan ini di depan Rama, bukankah rentan sekali jika akan ada kehancuran yang kedua? Seperti kata Tulus dalam lagunya, sekarang aku memang merasa seperti si hati rapuh yang menantang wahana.

Seakan aku memang selalu keras kepala bahkan terhadap diriku sendiri, tetap saja aku mengabaikan rasa takut yang berbisik dari intuisiku. Aku mengesampingkan segala pemikiran yang membuatku harus berpikir dua kali untuk dekat dengan Rama. Sudah jelas sekali lewat senyum-senyumku tiap kali berinteraksi dengan dia, bahwa aku mulai terbawa tanpa aku sadar. Aku seharusnya pergi dan menghindar, tapi justru kupaksa diriku untuk terus maju dan berani menghadapi apapun risiko yang ada di depan sana.

Hari itu hari Rabu, tiga hari setelah Rama mengajakku ke toko buku untuk di hari Sabtu nanti. Perkuliahanku masih berjalan secara daring, dan sejujurnya aku berharap agar perkuliahan ini berjalan seperti ini saja sampai aku lulus. Hanya dengan begini aku bisa leluasa memandangi wajah Rama. Lucu sekali rasanya melihat ekspresi dia ketika berpikir, wajah seriusnya, juga saat alisnya bertaut karena kurang memahami penjelasan dari dosen. Aku bisa memastikan bahwa keputusanku untuk menyetujui permintaan Ayah berkuliah di Jurusan Manajemen tidak akan lagi kusesali semenjak ada Rama yang membuatku selalu tidak sabar ingin kuliah.

Seperti sekarang ini, aku bangun pagi-pagi sekali untuk menentukan pakaian apa yang sebaiknya kukenakan untuk pergi mengerjakan tugas kelompok. Bukan tanpa alasan aku jadi berlebihan pagi itu, tentu saja aku ingin berpenampilan sebaik yang kubisa karena tugas kelompok kali itu mempertemukanku dengan Rama. Kebetulan pembagian kelompok ini dilakukan berdasarkan urutan nomor absen, sedangkan nomor absenku dengan Rama memang berurutan. Setelah namaku, di dalam absen nama Rajendra Rama Hakmani berada tepat di bawahku.

Ini terasa mendebarkan karena aku akan bertemu dia secara langsung untuk pertama kali. Tidak lagi lewat obrolan pesan teks, tidak lagi lewat perkuliahan daring yang mana aku bisa bebas melepas senyum tiap kali melihat wajahnya dengan leluasa. Aku bisa membayangkan seberapa canggungnya aku nanti. Aku juga tau bahwa saat bekerja kelompok nanti aku akan lebih banyak diamnya karena terlalu gugup. Semoga saja Rama tak sadar bahwa dia akan menjadi alasanku untuk gugup dan tidak banyak bicara di sana.

Kelompok 4 Hukum Bisnis

Rissa Heyamni:
"Kalian sudah di mana?"

"Kemarin janjiannya jam 10 pagi sudah di sini, kan?"

"Sekarang sudah jam 10."

"Aku sudah di sini, di sini baru hanya ada aku dan Puput saja yang sudah tiba."

"Yang lain ke mana?"

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now