21. Kamu?

24 1 0
                                    

"Tidak ada lagi?"

Pertanyaan itu akhirnya keluar setelah kita berdua hanya saling menatap dalam diam dengan waktu yang hampir lima menit. Aku mengangguk, kemudian berjalan mendahului dia menuju meja kasir.

"Tunggu, Na. Aku masih ingin melihat-lihat."

Oh, tentu. Setidaknya aku masih punya alasan untuk setelah ini tidak kembali berlaku gugup di hadapannya. Dia sudah menjadi temanku, resmi menjadi temanku, harusnya berhenti pada bagian penting itu saja. Tapi kenapa aku masih gelisah?

"Ke sini, Na!" serunya sembari berjalan mengitari lorong yang tiap sisinya memajang berbagai macam gitar klasik.

Toko buku ini memang tidak hanya menjual buku dan alat tulis saja. Beberapa alat olahraga, mainan anak kecil, juga segelintir alat musik yang tergolong umum tersedia di sini.

"Aku tidak pernah tau kalau kamu bisa main gitar."

Dia yang sedang mengetes salah satu gitar yang terpajang itu langsung menoleh. "Aku juga tidak pernah tau kalau sekarang kau sudah bisa memanggilku dengan sebutan 'kamu'."

"HAH? APA IYA? AKU PASTI SALAH NGOMONG!"

Sial, sekarang dia tertawa sebebas itu! Wajahku memerah, tidak bisa apa-apa selain memasang wajah kesal agar dia berhenti menertawaiku.

"Baiklah, baiklah." Tawanya mereda. "Tidak apa-apa, kok, Na. Aku juga akan mulai memanggilmu dengan sebutan itu." Dia mengedipkan satu matanya ke arahku. Apa maksudnya?!

Selanjutnya dia membawaku berjalan ke lorong yang khusus menyediakan alat lukis. Kulihat dia meraih sebuah kanvas baru berukuran sedang, beberapa batang kuas lengkap dengan cat-nya. Aku mengernyit, ingin bertanya apa dia bisa melukis atau tidak, tapi aku tidak berani. Takut digoda lagi seperti tadi. Mungkin karena mulai sadar bahwa sejauh ini aku benar-benar terasa seperti asisten yang menemaninya, dia menoleh. Memintaku untuk memegang beberapa barang yang hendak dibelinya.

"Kamu lihat-lihatlah lagi. Siapa tau masih ada buku yang ingin kamu beli. Tidak usah sungkan," tawarnya kedua kali. Tapi aku hanya bisa menggeleng, meski setelahnya dia malah menarik tanganku sendiri, berjalan kembali menuju rak-rak yang khusus memajang novel.

"Lihat lagi. Kamu harus ambil satu lagi."

"Tidak usah, Rama. Bukuku di rumah masih banyak yang belum selesai kubaca. Kalau kamu tambahkan satu lagi, sama saja kamu sedang menambah kerjaanku."

"Kenapa? Bukannya kamu memang senang jika semakin banyak buku yang akan kamu baca?"

"Percayalah, Rama. Kamu akan merasa terbebani dengan hobimu sendiri ketika justru sudah semakin mudah melakukannya. Dulu aku sangat menikmati saat-saat ketika aku membaca buku, tidak pernah menunda untuk menyelesaikan satu buku karena kurasa aku hanya punya satu buku itu. Berbeda dengan sekarang, ketika koleksi bukuku justru sudah terlalu banyak, aku jadi kurang menghargainya. Mungkin terasa ... bosan? Entahlah."

"Kamu hanya sedang lelah saja karena baru selesai menulis satu buku, makanya sekarang kamu merasa muak dengan segala bacaan."

"Ah, ini dia!" Aku meraih salah satu buku berwarna merah jambu, sebuah novel karya Faradita yang berjudul Sin. "Aku mau kamu membaca buku ini."

Dia mengernyit saat mengambil buku itu dari tanganku. "Apa ini? Tentang apa?"

"Percintaan anak SMA, tapi—"

"Tidak, terima kasih," potongnya langsung. Dia lalu menaruh buku itu kembali ke raknya.

"KAMU JANGAN MEMOTONG DULU! Mungkin kedengarannya seperti bacaan kacang-kacangan, tapi ini salah satu novel favoritku, Rama. Tidak akan seremeh yang kamu pikirkan. Konfliknya bagus, penokohannya juga unik. Bahkan, sudah difilmkan. Ah, iya! Kapan-kapan kamu harus menonton filmnya!"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: 5 days ago ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now