20. Rama & Toko Buku

30 4 0
                                    

Rama Hakmani:
"Kau sudah siap-siap?"

Raina Genna Eldirah:
"Iya."

"Kau bagaimana? Sudah menuju ke sana?"

Rama Hakmani:
"Maaf, Na. Mungkin aku akan sedikit terlambat. Aku sedang menunggu tukang galon mengantar ke rumah. Kau pahamlah, ini derita seorang anak yang tinggal sendirian."

Raina Genna Eldirah:
"Tidak apa-apa."

"Kalau begitu aku masih punya banyak waktu untuk mengisi perut, kan?"

Rama Hakmani:
"Ya, kau makan saja lah dulu."

"Tapi jangan sampai kenyang."

Raina Genna Eldirah:
"Iya, aku tau. Aku tidak perlu terlalu banyak mengisi energi hanya untuk menemanimu ke toko buku, kan?"

Rama Hakmani:
"Bukan begitu."

"Maksudku, sebaiknya kau jangan makan terlalu banyak pagi ini."

Raina Genna Eldirah:
"Kenapa?"

Rama Hakmani:
"Hanya mengingatkan."

Raina Genna Eldirah:
"Dasar aneh."

Rama Hakmani:
"Tukang galonnya sudah datang. Lima menit lagi aku berangkat."

"Share location sekarang, Na."

Raina Genna Eldirah:
"Hah? Share location?"

Rama Hakmani:
"Idiot."

"Aku belum pernah tau rumahmu di mana, kau pikir aku cenayang yang bisa langsung tau hanya dengan menebak-nebak?"

Raina Genna Eldirah:
"Tunggu, kau mau menjemputku?"

Rama Hakmani:
"Kau tidak benar-benar berpikir bahwa aku akan membiarkanmu berangkat ke toko buku sendirian, kan?"

Mungkin jika dilihat dari kacamata orang lain, ini hal biasa. Bare minimum. Tapi kenapa saat mendapati Rama berkata bahwa dia akan menjemputku, aku jadi terdiam dan sedikit panik? Aku langsung berdiri dari meja makan, mencari cermin untuk memastikan bahwa penampilanku sudah oke. Hari itu aku benar-benar mengikuti petuah Kirei. Aku mengenakan celana katun berawarna hitam yang kupadukan bersama kaos polos abu-abu, dengan sebuah kardigan berwarna soft brown sebagai outer. Awalnya aku sama sekali tidak berani memoleskan riasan apapun ke wajahku selain lipt-tint dan cushion. Tapi hari itu berbeda, aku bahkan sampai bangun pagi sekali untuk menonton tutorial natural make up yang disarankan Kirei.

Aku menatap pantulan diriku di depan cermin, cukup lama meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Bersama cushion, loose powder, concelear, lipgloss , eyeliner dan blush on yang meriasi wajahku, aku berusaha percaya pada diriku sendiri bahwa Raina memang layak untuk sebuah kencan. Tapi tunggu, apa benar ini layak disebut kencan? Semakin waktunya akan tiba, semakin membingungkan untuk kujawab. Sebab jika memang ini bukan kencan, kenapa Rama sampai harus menjemputku segala? Jika ini harus kuanggap sebagai jalan-jalan biasa, kenapa aku sampai harus bersolek ria padahal dulunya aku tidak pernah mau menyentuh alat-alat make up?

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now