8. Simbiosis Mutualisme

81 4 0
                                    

Melalui obrolan singkat tentang tugas Bahasa Inggris itu, aku akhirnya punya interaksi pertamaku bersama Rama. Jika boleh jujur, dia tidak seburuk yang aku kira. Nyatanya Rama ini tipikal pria yang ramah dan senang membantu. Aku ingat sekali bagaimana dia dengan begitu tulus menjelaskan dengan rinci cara mengirimkan tugas online kepadaku. Rasanya lucu sekali jika diingat, sebab Rama sepertinya tidak menyadari bahwa waktu itu aku berlagak tidak tau semuanya, padahal aku hanya sedang mencari alasan untuk bisa berinteraksi dengan dia. Pun hingga detik ini aku masih belum mengerti mengapa seorang Raina yang notabene sudah menjaga dengan baik garis kehidupannya agar tidak pernah bersinggungan dengan lelaki manapun lagi—justru tanpa berpikir panjang malah memulai interaksi lebih dulu dengan lelaki bernama Rama. Aku tidak mengerti mengapa Rama bisa membuatku berani mengambil langkah pertama, aku tidak tau pasti darimana kudapatkan keberanian itu—yang aku tau pasti hanyalah tentang pandanganku yang benar-benar berubah terhadap Rama di hari pertama perkuliahan di mulai.

Jauh sebelum hari pertama masuk kuliah itu tiba—jauh sebelum kudapati Rama menjadi teman sekelasku—kehidupanku benar-benar kujaga agar tetap aman dari hal-hal yang bisa saja menyakitkan. Utamanya lelaki. Aku benar-benar menjaga batasan antara diriku dan beberapa lelaki asing yang berusaha mendekat. Sejauh ini, ada cukup banyak lelaki yang berusaha mendekatiku, namun tak satu pun dapat membuatku berpikir bahwa mereka pantas. Aku belum berpikir bahwa akan ada orang lain yang dapat menggantikan posisi Julian di hati dan pikiranku. Jauh sebelum Rama datang, hidupku hanya tentang karir kepenulisanku yang baru saja akan dimulai—juga tentang sahabat-sahabatku; Kirei, Angel dan Andre. Jika di pagi hari aku sibuk berleha-leha sembari menyelesaikan novel yang sedang kubaca, maka di siang hari aku akan berkunjung ke rumah Angel atau Kirei hanya untuk sekadar menonton film, menghabiskan camilan, atau bahkan tidur siang bertiga. Tak jarang pula di akhir pekan Andre mengajakku bermalam Minggu. Menonton film di bioskop, makan malam, atau sekadar memesan ice cream cone lewat layanan drive thru di McDonalds.

Kurasa kehidupanku sudah benar-benar jauh melampaui kata cukup dengan adanya mereka, hingga ketika memasuki masa perkuliahan aku merasa tak perlu lagi mencari teman. Aku sudah bahagia dengan hidupku sendiri. Untuk alasan itu, aku membangun tembok tinggi dan menyeleksi benar siapa saja yang dapat masuk ke daerah territorial kehidupanku. Aku juga bersyukur karena di semester satu perkuliahan di kampusku masih akan dilakukan secara online. Hal ini sangat membantu diriku yang berusaha untuk menghindari interaksi apapun dari manusia asing. Bahkan jika tidak salah mengingat, di awal-awal perkuliahan ada cukup banyak teman-teman sekelas yang mengirimiku pesan—memintaku untuk menyimpan kontak mereka. Namun untuk hal seremeh itu pun aku masih juga enggan. Ketika beberapa orang teman juga menambahkanku di grup obrolan yang hanya berisi mereka yang berisik dan sibuk bersalam sapa, berkenalan hingga mengakrabkan diri—aku justru hanya diam menyimak. Sekali lagi, aku sudah terlalu nyaman dengan kehidupanku beserta orang-orang yang ada di dalamnya. Kirei, Angel dan Andre sudah cukup membuatku senang. Itu saja sudah benar-benar cukup, aku merasa tidak punya alasan apapun untuk memperluas pergaulan dan menambah teman lagi. Karena ibaratnya, aku tidak perlu berlebihan menambah porsi makanku ketika perutku sudah kekenyangan, bukan?

Manusia memang boleh punya prinsip, namun semesta juga selalu hadir dengan aturannya. Prinsip kehidupan yang selama ini sudah kuteguhkan di dalam hati rupanya masih akan dikhianati oleh takdir. Ketika aku tetap berusaha untuk tidak terlalu terbuka dengan siapapun manusia di kampusku, suatu hari justru pemikiranku terubahkan ketika aku, Kirei dan Angel tengah berkumpul bersama. Obrolan kami kala itu memaksaku untuk merubah prinsip, bahwa aku tidak bisa lebih lama lagi menutup diri dari dunia.

Satu sore di ujung Juli 2021, aku sudah terbebas dari segala urusan naskah dan penerbitan. Novel pertamaku itu sudah akan dicetak, membuka tahap Pra-Pesan, sebelum akhirnya akan didistribusikan ke seluruh toko buku di akhir tahun 2021. Aku langsung merayakan itu semua hanya dengan menghabiskan waktu berkualitas bersama dua sahabatku.

FWB: Friends With BittersweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang