14. Balada Toko Buku

9 1 0
                                    

Rasa syukur tidak selalu tentang bagaimana kita bisa mendapatkan banyak penghargaan dari semesta berupa kekayaan materi, rasa bahagia yang tak terbatas, atau mungkin orang-orang dekat yang berharga. Ada banyak alasan untuk kita bisa mengucap syukur kepada Tuhan dan semesta-Nya selain hal-hal manusiawi yang penuh ekspektasi itu. Rasa syukur bisa kita miliki dalam bentuk lain yang lebih sederhana. Contohnya dengan apa yang kutemui pagi itu.

Aku bersyukur karena mendapati Angel masih hidup setelah semalaman menggila bersama botol-botol alkohol.  Aku baru saja mematikan panggilannya, katanya dia tidak ingat secara keseluruhan tentang apa yang kita bicarakan semalam, tapi satu hal yang pasti adalah tentang dia yang memang serius ingin mengajakku jalan berdua di hari Sabtu.

Tak lupa aku memarahi dia karena sudah membuang waktuku semalam dengan ocehannya yang tidak jelas hanya karena dia mabuk. Dan tentu, aku tidak segan-segan meledek dia yang sudah menangisi Dillon semalam—sama seperti dia yang dulu sering menertawaiku karena menangisi Julian.

Pagi itu aku tidak melakukan banyak hal. Seperti Minggu pagi yang biasanya, aku hanya bangun untuk merapikan tempat tidur dan meja kerjaku, meneguk segelas air putih, lantas kembali bersantai bersama buku-buku yang sudah lama aku tunda untuk dibaca.

Tepat saat pukul sembilan pagi, aku ditelepon oleh tim promosi redaksi di mana novel pertamaku diterbitkan. Kami tidak terlalu lama bicara, hanya ada beberapa pembahasan tentang konten promosi untuk masa Pre-Order yang masih berlangsung, juga beberapa wara-wiri tentang hal apa saja yang perlu kubantu dalam rangka mempromosikan debut pertama karyaku ini.

Sepanjang berbicara dengan tim promosi itu, sesekali aku malah teringat Rama tanpa alasan yang pasti. Aku seringkali membuka ruang obrolanku bersama Rama di ponsel sambil mendengarkan tim promosi berbicara panjang lebar. Aku menahan napas sejenak, menghitung dalam hati sebelum kemudian bertanya pada diri sendiri kenapa aku malah terkesan menunggu Rama seperti ini? Aku terus menatap ruang obrolan, dan tetap saja tidak ada pesan yang bertambah di sana. Tidak ada pesan baru dari Rama. Parahnya lagi, hal ini bukan kali pertama sejak dua hari terakhir. Semakin sering aku berinteraksi, semakin aku mau lagi, lagi dan lagi.

"Baiklah, Na. Yang terpenting kau jangan sampai lupa, ya, materi promosi yang kujelaskan tadi harus kau masukkan ke dalam cerita Instagram-mu secepatnya, ya."

"Siap, Kak Flara. Selepas ini akan langsung ku-post di Instastory," jawabku kepada utusan tim redaksi itu. Selanjutnya aku kembali menopang dagu, seperti orang dungu yang sedang menunggu entah apa. Kembali kunyalakan layar ponselku, kemudian cepat-cepat mengusir Rama keluar dari kepalaku. Aku langsung fokus melakukan permintaan Kak Flara, sesuai dengan apa yang dia minta untuk menunjang promosi Pre-Order novelku. Sebelum akhirnya, yang kurasakan kembali tetap saja sama. Bolak-balik ruang obrolan sambil memikirkan kiranya topik seperti apa yang bisa kubawa untuk membuka obrolan dengan Rama.

Belum lama aku berkutat dengan pikiranku, tiba-tiba saja netraku mendapati nama pengguna @ramahakmani berada dalam daftar penyimak ceritaku. Aku meletakkan ponselku ke atas meja, membiarkan layarnya tetap menampilkan daftar pengguna yang sudah menampilkan ceritaku—yang mana salah satunya adalah Rama. Anehnya, aku tidak tau harus apa ketika seulas senyum tercipta begitu saja di wajahku hanya karena satu kenyataan tentang Rama yang sudah menonton Instastory-ku.

Aku ingin sekali menemukan jawab perihal apa yang terjadi atas diriku, namun sepertinya hal itu tidak akan terjawab saat itu juga karena seakan apa yang kudapati pagi itu belum cukup—Rama kembali berulah. Untuk membuatku semakin berani menaruh namanya di ruang yang lebih luas di kepalaku.

To The Moon🚀

Rama Hakmani:
"Sepertinya nama To The Moon sudah tidak cocok untuk grup ini."

FWB: Friends With BittersweetWhere stories live. Discover now