Chapter 28

2.5K 157 13
                                    

Flashback on
Dua tahun lalu

Denada menarik nafas panjang, mencoba melepas beban jiwa dan kelelahan yang terasa sangat berat belakangan ini. Jadwal kuliah yang padat, dilanjutkan dengan bekerja di cafe, menjenguk mamanya sekaligus menemani proses kemoterapi serta aneka terapi lainnya, sejujurnya Denada nyaris kehabisan energi, tapi ia tetap harus bertahan.

"Wajahmu kelihatan pucat, Nada." Riko menatap Denada, tampak khawatir.

"Aku baik baik saja, kak." Denada tersenyum tipis.

"Tidak, kau tidak dalam kondisi baik baik saja, Nada. Belakangan ini, kau lebih pucat dan tampak kurus." Riko mengamati penampilan Denada dari atas sampai bawah "Bagaimana kondisi mamamu?"

"Seperti pasien yang menjalani kemoterapi lainnya, rambutnya mulai rontok, mama tampak menderita dan juga kesakitan. Entahlah, aku bahkan tidak tau, apakah pilihan melakukan kemo ini adalah pilihan terbaik yang aku buat." Denada tertawa sumbang, dadanya terasa sesak oleh kesedihan.

"Kau sudah berusaha melakukan yang terbaik, Nada. Itu sudah lebih dari cukup. Tapi kau juga harus memperhatikan kesehatanmu. Ambilah cutimu satu atau dua hari." Riko menepuk lembut bahu Denada.

"Bekerja justru membantuku melupakan semua masalahku, Kak. Saat aku sibuk, aku bisa melupakan semuanya." Suara Denada terdengar serak.

"Tapi tidak untuk tubuhmu. Jika kau sakit, kau justru tidak bisa menjaga mamamu dan mempersiapkan dirimu untuk ujian meja. Hari ini sebaiknya kau pulang lebih awal, aku akan menggantikanmu." Riko mengangguk pelan, memberi kode pada Denada.

Denada menghela nafas pelan, menatap Riko dan akhirnya mengangguk "Terima kasih banyak, Kak."

Riko mengangguk dan berjalan menuju ke arah meja kasir sedangkan Denada segera masuk ke dalam untuk melepas celemeknya dan bersiap siap untuk ke rumah sakit.

************

Denada merapikan rambutnya dan menarik nafas panjang sebelum membuka pintu ruang rawat Sena.

"Hai ma...." Denada membuka pintu dan menyapa Sena, mengulas senyum lebar.

"Denada." Sena tersenyum menyambut Denada.

"Apa kabar hari ini, ma?" Denada duduk di samping brankar dan mengusap punggung tangan Sena. Wajah Sena tampak jauh lebih kurus dan pucat, kerutan di wajahnya bertambah banyak, ditambah kepalanya yang nyaris botak akibat efek samping dari proses kemoterapi.

"Seperti yang kamu lihat." Sena tersenyum lemah.

"Mama harus kuat, mama pasti sembuh." Denada mengecup pipi Sena, menarik nafas panjang, menahan bulir air matanya agar tidak lolos dari sudut matanya.

Jangan menangis, harus kuat di depan mama.

"Nada, mama ingin bicara." Sena mengusap kepala Denada.

"Ada apa, ma?"

"Bisakah kita menghentikan proses kemo ini?"

"Mama harus menjalani pengobatan ini agar bisa sembuh."

"Nada, kanker mama sudah di stadium akhir, mama sudah tidak bisa sembuh. Proses kemo dan segudang terapi pun sudah tidak akan berguna, jadi mari kita hentikan saja semua ini." Sena menatap Denada dengan lembut.

"Kita tidak boleh putus asa, ma."

"Bukan putus asa, tapi kita harus realistis, Nada. Kemo dan aneka terapi ini menghabiskan banyak biaya, mama tidak ingin membuang buang uang untuk hal yang sudah jelas tidak ada gunanya."

DESTINY (TAMAT) Where stories live. Discover now