Bab 21 : Dia Kembali

139 12 0
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

"Tidak perlu risau akan masa depan. Allah telah menuliskan takdir sebelum kita diciptakan, bahkan sebelum bumi diciptakan. Seperti kata Ummar bin Khattab, apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku."

~ Assalamu'alaikum, Ya Ukhti ~
Epina Mardiana

🌻🌻🌻

Dua manusia berbeda jenis kelamin tengah berhenti di halte masih saja mendebatkan hal yang seharusnya rampung sejak tadi. Syahla menekuk wajahnya, ia duduk di pinggir halte sambil mengoceh panjang lebar. Berbeda dengan Rizfan begitu santai menanggapi ocehan Syahla.

"Terus gimana lagi? Qodarullah, Dek. Namanya juga mogok. Emang Kakak bisa nyuruh mobil biar nggak mogok? Nggak, 'kan?"

"Ya tapi 'kan kalau Syahla telat gimana? Makanya kalau Abi ngomong itu dengerin lah Kak! Ih, Kak Rizfan nyebelin!"

Pergerakan Syahla tak lepas dari pandangan Rizfan. Berdiri, berjalan mondar-mandir, memukul lengannya sambil berteriak kesal, kemudian duduk lagi dan seterusnya seperti itu. Sesekali Rizfan meringis pelan merasakan pukulan Syahla. Meskipun tidak begitu kencang, namun rasanya sedikit nyeri apalagi ketika memukul, Syahla begitu emosi padanya.

"Dek, kamu naik angkot aja gimana?" usul Rizfan sontak mendapat pelototan dari Syahla.

"Nggak! Syahla paling nggak suka naik angkot." Syahla duduk seraya mengayunkan kakinya yang menggantung. "Di dalam angkot itu udah pengap terus tempat duduknya nggak pasti. Malah Syahla dulu pernah duduk di samping cowok, itu pun Syahla kasih pembatas tas sekolah. Tetep aja nggak nyaman, Kak," sambungnya lesu menatap pasir berserakan yang sempat ia gosok menggunakan alas kaki.

Rizfan menghela nafas pelan. "Taksi, gimana?"

Penawaran Rizfan tidak manjur. Buktinya, penawarannya mengundang decakan sebal serta rengekan khas Syahla. "Kak Rizfan ... naik taksi itu horor tahu."

"Ha? Horor darimananya?" Masih dalam posisi yang sama berdiri di depan kap mobil sambil bersedekap menatap Syahla bingung.

"Kalau Syahla naik taksi, pasti sopirnya cowok, 'kan? Terus, gimana kalau tiba-tiba Syahla di culik? Di bawa ke tempat sepi, sunyi, gelap gulita, terus pas Syahla teriak minta tolong nggak ada yang dengar. Habis itu bibir Syahla di bekap pakai kain isinya obat bius. Habis itu sopirnya ngeluarin pisau, badan Syahla di mutilasi! Ih, kan serem Kak! Nanti muncul berita "Seorang Gadis Cantik SMA Kemilau Bangsa Tewas di Mutilasi Supir Taksi". Horor banget 'kan?"

Alasan Syahla terdengar konyol. Rizfan berjalan mendekati Syahla kemudian mencubit kedua pipi Syahla kencang membuat sang empu meringis kesakitan. "Ngaco! Kebanyakan baca novel genre horor ya begini, nih."

"Tapi tetep aja nggak mau, Kakak! Serem!" Tolak Syahla tegas, ia kembali menggembungkan pipi kesal. "Kalaupun naik taksi, Kak Rizfan juga ikut," sambungnya.

"Terus, mobil kakak gimana?" tanya Rizfan menunjuk mobilnya.

"Ya nggak gimana-gimana."

"Kalau hilang?"

"Qodarullah. Semua harta kekayaan di dunia ini 'kan titipan. Mobil Kakak juga bukan sepenuhnya milik Kakak. Itu titipan dari Allah yang harus Kakak jaga. Kalau hilang ya ... berarti bukan rezeki Kakak, orang lain lebih membutuhkan daripada Kakak. Bener, 'kan?" ujar Syahla puitis, ia tersenyum penuh arti menatap Rizfan sambil menaik turunkan kedua alisnya.

Assalamu'alaikum Ya UkhtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang