Bab 3 : Tentang Dia

465 59 22
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

“Dia mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Percayalah, apa yang menurutNya baik akan terjadi di kehidupanmu segera mungkin."

~ Assalamu'alaikum, Ya Ukhti ~
Epina Mardiana

🌻🌻🌻

Hangatnya mentari pagi menerangi penjuru semesta. Meriah kicauan burung beradu cakap dengan suara khas ayam jago yang mendominasi. Nunsa langit amatlah cerah seolah tersenyum kepada dunia dan mengatakan jika dirinya bahagia bisa menemani orang lalu lalang mengerjakan aktivitas terlampaui sibuk.

Sayang, senyuman langit mengendur ketika keberadaannya tak lagi bisa mencerahkan bumi. Sebab ia tergantikan oleh langit gelap. Tidak bisa melawan ataupun menolak, sang langit cerah menjauh kemudian nuansa langit berubah hitam.

Tidak dipungkiri beberapa orang lalu lalang tadinya santai seolah tak ada hambatan, kini berjalan cepat kearah tempat yang mereka tuju, khawatir jika barang penting bawaannya rusak terkena tetesan air hujan.

Sama halnya dirasakan gadis berseragam putih abu kini tengah menyusuri padatnya jalan. Ia menggerutu kesal terhadap sang kakak tega meninggalkannya. Alhasil ia terlambat berangkat ke gedung besar dan tinggi bertuliskan SMA Kemilau Bangsa.

Kaki beralas sepatu warna hitam telah menapaki depan gerbang sekolah. Nafas tersenggal, wajah memerah ditambah keringat membasahi pelipis hingga jilbabnya. Namun tidak mengurungkan niat sang gadis untuk membuat lelaki paruh baya didepannya luluh. Muka 'melas' ia jadikan sebagai alat kunci keberhasilan agar bisa masuk kedalam. Pasalnya gadis itu tengah berhadapan dengan Pak Udin-penjaga gerbang sekolah ini.

"Selamat pagi, Pak Udin."

"Selamat pagi, Mbak Syahla. Eh, terlambat ya, Mbak?"

Ingin sekali Syahla memberondongi kekesalannya pada Pak Udin, namun ia urungkan. Meskipun menyebalkan, Pak Udin tetaplah lebih jauh diatasnya harus dihormati dan tetap sopan.

"Hehe, iya Pak," Syahla salah tingkah melihat Pak Udin berdiri dibelakang gerbang sambil tersenyum. "Ehm, gerbangnya boleh dibuka nggak, Pak. Saya mau masuk nih," pinta Syahla memohon bahkan nafasnya belum bisa teratur baik.

"Eh, mana boleh Mbak. Peraturan disini kalau sudah jam tujuh gerbang harus ditutup. Dan baru boleh dibuka saat jam istirahat," jelas Pak Udin tidak peka sikon.

"Pak Udin baik deh, ramah, sopan, nggak sombong lagi. Bukain gerbangnya ya, Pak."

Bukannya meleleh, Pak Udin justru menaikkan alisnya bingung ketika mendapati raut wajah Syahla dibuat seakan memelas. Syahla menggaruk tengkuknya dari balik jilbab. Memikirkan cara lain supaya bisa mengelabuhi Pak Udin.

Belum sempat ide cemerlang muncul, sebuah suara menghentikan perdebatan antara dua insan berlawan jenis.

"Pagi, Pak Udin ganteng."

Pak Udin tertawa geli melihat seseorang tersebut. Syahla diam tak berkutik dalam posisi mendunduk. Ia menahan malu, terlebih lagi merasakan sesuatu bergejolak hebat didadanya ketika seseorang itu berada disini.

Astaghfirullah! Jaga mata, jaga hati, Syahla!

"Tumben banget lho, si Mas sama Mbaknya terlambat. Barengan lagi," goda Pak Udin.

"Sebenarnya saya sudah sampai sekolah sejak pagi, Pak. Berhubung Bu Ratih suruh saya fotocopy tugas, saya keluar lagi. Eh, sampai sini gerbang udah ditutup."

Assalamu'alaikum Ya UkhtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang