Bab 31 : Dua Kalimat Syahadat

73 13 3
                                    

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

Hidup ini singkat. Ada masanya kita akan berpulang kepada Sang Pencipta. Maut tidak mengenal umur, maut bisa datang kapan saja dan maut tidak menunggu kita berubah menjadi lebih baik dari sebelumnya. Jika sudah waktunya mati, ya mati.

Assalamu'alaikum, Ya Ukhti ~
Epina Mardiana

🌻🌻🌻

“Mbok, ini ... idgham bigunnah, kan?”

Mbok Siti tengah sibuk memasak tiba-tiba berhenti tatkala Lechia menanyakan hukum tajwid pada ayat yang ia baca. Mengecilkan api lalu mendekati Lechia sedang duduk anteng di kursi meja makan sembari mengunyah roti. Tangan kanan sibuk memegang Al-Qur’an terjemah sedangkan tangan kiri membolak-balikkan buku ilmu tajwid.

“Bukan, ini idgham bilagunnah, bacanya nggak mendengung. Kalau idgham bigunnah itu bacanya harus mendengung, Non,” jelas Mbok Siti singkat kemudian kembali ke dapur memeriksa masakannya.

Mengingat nama tajwidnya saja membuat Lechia menggaruk kulit kepala yang mendadak terasa gatal, bingung membedakan mana yang harus di baca mendengung dan mana yang di baca tidak mendengung. Melebarkan mata, melihat secara bergantian mulai dari Al-Qur’an beralih ke buku tajwid begitu pun sebaliknya dari buku tajwid beralih ke Al-Qur’an. Jemarinya pun ikut bekerja sama memastikan bahwa ayat ini termasuk dalam hukum bacaan ini.

“Bingung, namanya sama semua, Mbok. Idgham bigunnah, idgham bilagunnah terus idzhar haqiqi, ikhfakhalqi.”

“Terbalik, Non. Yang bener idzhar khalqi sama ikhfahaqiqi,” jawab Mbok Siti dari dapur masih berkutat dengan acara memasak. Sesaat Mbok Siti tersenyum kecil memperhatikan Lechia fokus mempelajari ilmu tajwid. Sudah berlangsung lama tetapi Lechia belum juga memberi keputusan tentang niatnya. Itu membuat Mbok Siti merasa sedikit putus asa akan masuk Islamnya Lechia.

“Eh, masa sih, Mbok? Terbalik ya? Aduh ... kayaknya yang nggak pernah terbalik cuman iqlab aja deh, lainnya pada buyar.” Menutup kedua kitab yang baru saja ia pelajari lalu ia letakkan di atas meja makan. Lechia menatap kedua objek itu dengan pandangan lesu. “Susah juga ya Mbok belajar tajwid. Kirain pas Lechia ngehafal bacaannya udah bener, eh ternyata masih ada yang salah.”

InsyaaAllah, susah yang Non rasain bakal terbayarkan kalau rajin belajar. Sama kayak hafalan awalnya susah, tapi kalau udah niat sesusah apa pun pasti jadi mudah, nggak terasa malahan susahnya.”

Mendengar nasehat Mbok Siti, semangat belajar dan memahami ilmu tajwid semakin menguar. Lechia menegakkan punggung, mengambil kedua kitab tersebut kemudian kembali mempelajari dengan teguh. Ia tidak mau malas-malasan mendalami agama yang akan menjadi keyakinannya kelak.

Kelak?

Ya ... Lechia belum memastikan kapan ia meyakinkan diri menjadi bagian dari saudara seiman Mbok Siti dan ia pun belum menghilangkan akan keraguan dalam dirinya. Kendatipun, rasa keinginan menjadi seorang mualaf sudah mencuat sejak dulu tetapi entah mengapa, sulit rasanya mengetahui keraguan apakah tengah menyelimutinya.

“Non.”

“Ya, Mbok.”

Sekilas Lechia menoleh ketika Mbok Siti mengusap pundaknya kemudian duduk di samping membawa roti panggang yang baru saja diangkat dari penggorengan.

“Wah ... Lechia boleh minta nggak?” tanya Lechia antusias melirik roti bakar buatan Mbok Siti, terlihat menggoda dan menggugah selera.

“Boleh, dong. Kan emang buat Non.”

Assalamu'alaikum Ya UkhtiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang