2 - Kehilangan

42 8 0
                                    

“Pergi ...!! Gita gak mau ketemu siapa pun! Kalian pergi ...!!” teriak gadis itu mengusir dua orang suster yang hendak memeriksa kondisinya.

Risa dan Septyo segera masuk ke dalam kamar rawat putrinya. Mereka terkejut melihat Gita sudah mengamuk sambil melempar barang-barang apa pun yang dapat dia jangkau. Ketika di atas nakas telah besih pun, kini bantal lah yang menjadi barang selanjutnya yang gadis itu lemparkan. Begitu melayang ke arahnya, Septyo segera menangkapnya. Lantas Gita terdiam karena tidak menemukan benda lagi yang bisa dia lempar.

Risa segera mendekati Gita dan memeluk putrinya agar tenang. Sementara dua orang suster yang hanya bisa berdiri tertegun itu memutuskan keluar dari ruang rawat Gita. Membiarkan pihak keluarga saja yang menenangkan pasien mereka.

“Sayang, kamu yang tenang ya, Nak ... Mama ada di sini,” ujar Risa sembari mengelus lembut kepala anak gadisnya.

“Mereka bilang kaki Gita lumpuh, Ma. Itu gak benar ‘kan, Ma? Mereka hanya bohong ke Gita ‘kan, Ma?” tanya lirih Gita menatap sang mama dengan wajah yang sudah penuh oleh air mata. Gadis itu begitu syok saat diberitahu kondisinya oleh dua suster tadi.

“Gita yang kuat ya, Nak! Anak Mama pasti kuat ...!”

Jawaban lirih Risa itu sontak membuat Gita menggeleng dengan kuat. Perkataan mamanya sudah cukup menjelaskan kalau yang dikatakan suster memang benar. Alasan mengapa saat Gita terbangun dan merasakan kakinya sulit digerakkan, bahkan tidak merasakan sentuhan, itu adalah karena dia mengalami kelumpuhan.

“Gak mau, Ma! Gita gak mau lumpuh ...!!” raungnya kembali. Isak tangis Gita lebih keras dan pilu. Siapa pun yang mendengarkannya pasti bisa merasakan kesedihan yang teramat dalam sedang dirasakan oleh gadis itu.

Seperti Risa yang ikut menangis melihat kondisi putrinya itu. Meski memaklumi kekalutan Gita, tetapi sebagai seorang ibu, Risa tetap tidak tega melihat putrinya yang terus berusaha menampik kondisinya.

“Gita gak mungkin lumpuh, Ma! Gita belum masuk tim renang nasional, jadi Gita gak boleh lumpuh ...!!” tangis gadis itu dalam pelukan Risa yang semakin menguat. Namun tak lama Gita melepaskan pelukan mamanya dan beralih menatap sang papa. “Pa, dokter pasti salah cek kondisi Gita. Tolong Papa tanyakan lagi sama dokternya. Bilangin kalau Gita gak mau lumpuh, tolong Pa ...!” rintih Gita sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Memohon agar papa yang selalu bisa menjadi andalannya itu dapat menolong.

Septyo di sudut lain itu terpekur diam. Gerakannya untuk meletakkan bantal yang sempat dilemparkan Gita tadi saja menjadi sangat lambat. Septyo tidak sanggup memandang mata memohon milik putrinya itu terlalu lama. Dia kalah. Septyo duduk dengan kalah di atas sofa hitam yang seolah mewakili perasaannya.

Gelap. Septyo tidak tahu bagaimana caranya dia bisa menerangi putrinya agar bisa menerima kenyataan kakinya yang lumpuh. Lelaki itu sendiri merasa menyesal karena gagal memberikan kebahagiaan untuk Gita.
Siang malam Septyo bekerja tanpa kenal lelah. Dan bahkan hampir tidak memiliki waktu untuk keluarganya. Selama ini, satu-satunya cara yang bisa dia gunakan untuk menggantikan kehadirannya dalam pertumbuhan putrinya adalah memberikan dukungan yang penuh atas impian Gita menjadi perenang yang hebat. Sekelebat bayangan senyum bahagia putrinya saat pertama kali menjuarai perlombaan renang, muncul dalam benak Septyo. Dia kira dirinya sudah berhasil membahagiakan Gita. Kenyataannya saat ini putrinya jatuh teramat dalam membuatnya menjadi kehilangan arah juga.

***

Ruangan itu hampa. Seperti warna dindingnya yang tak tertuang cat lain selain warna putih. Bahkan gorden untuk menutup jendelanya saja konsisten dengan warna milik kapas itu. Gita tidak bisa melihat pemandangan di luar jendela. Maka gadis itu hanya bisa mengawasi gerakan burung kecil yang bayangannya tembus di kain gorden sedang mematukkan paruhnya ke kaca jendela. Mungkin dia mengira bisa menembusnya untuk menemukan makanan. Sungguh burung yang malang. Sama seperti Gita yang merasa dirinya sudah tidak berguna lagi. Hidupnya hanya akan bertahan jika mendapatkan rasa kasihan dari orang lain.

“Sayang, makan dulu ya ....”

Mamanya datang pun tidak dihiraukan oleh gadis itu. Gita masih membelakangi pintu dan enggan membalikkan badan.

Suara nyaring akibat dua buah benda yang saling bergesekkan membuat gigi gadis itu merasa ngilu. Dapat dia tebak kalau bunyi itu berasal dari piring makan milik rumah sakit yang mamanya taruh ke atas nakas lalu tidak sengaja menggesek gelas di sampingnya. Gita masih bisa mendengar gumaman Risa yang merutuki kecerobohannya sendiri. Gadis itu memilih mengabaikan dan berangkat memejamkan mata. Dia ingin tidur lagi. Siapa tahu saat terbangun nanti, ternyata semuanya adalah mimpi dan dia bisa mendapatkan kakinya kembali seperti sebelumnya.

“Kamu belum makan loh dari semalam ...” lanjut Risa berusaha membujuk putrinya yang keras kepala itu.

Semalaman yang dilakukan Gita hanya mengamuk. Menangis dan memohon baik pada Risa ataupun Septyo untuk mengembalikan kakinya. Septyo terpaksa meminta obat bius agar Gita bisa istirahat. Saat pagi terbangun, anak itu tidak ingin makan bahkan menolak meminum obatnya.

Kondisi Gita itu membuat kedua orang tuanya menjadi sangat cemas. Septyo bahkan harus menelpon Risa berkali-kali untuk memastikan apakah Gita sudah mau makan atau belum saat hari sudah menjelang sore seperti ini. Sayangnya Septyo masih terjebak oleh pekerjaan sehingga tidak bisa datang untuk ikut membujuk Gita.

“Mama suap ya, Sayang ....” Kembali Risa membujuk dan masih saja mendapatkan sikap tidak acuh dari Gita. Wanita itu sudah tahu kalau Gita tidak sedang tidur, sebab ada air mata yang diam-diam mencoba keluar dari sudut mata putrinya. Itu membuat Risa juga menjadi terbawa suasana.

Akhirnya mama Gita itu memutuskan keluar dari ruang rawat putrinya. Ingin menumpahkan tangisnya di luar agar tidak terlihat oleh Gita.

Sementara gadis yang keras kepala itu akhirnya membuka mata setelah yakin mamanya sudah keluar. Dia mengeluarkan isak tangisnya yang tertahan itu. Gita tidak kuat ketika mengingat hari yang seharusnya menjadi hari yang sangat bahagia baginya, malah terbalik menjadi hari yang sungguh menyakitkan.

“Mengapa? Mengapa harus aku, Tuhan? Aku gak mau lumpuh ...!!!” erangnya sembari memukul-mukul kedua kakinya. Tidak terasa sakit sama sekali. Itu semakin membuat Gita menjadi kesal dan semakin keras memukulkan tangannya. Dia masih berharap bahwa kakinya bisa merasakan sakit, karena artinya kakinya baik-baik saja.

“Kenapa harus kaki Gita yang diambil? Kenapa Tuhan?!!!”

Raungan Gita menggema dalam kehampaan yang menyelimuti sudut hatinya. Mempertanyakan ketetapan Tuhan sama dengan tidak percaya atas Kuasa-Nya. Gita mengacak rambutnya dan membuang selimut hingga teronggok kasar di atas lantai dingin yang tertempa udara dari mesin pendingin di sudut plafon.

Sekali lagi gadis itu mengamuk. Gelas di atas nakas dan juga sarapan yang dibawa mamanya berhasil Gita singkirkan sampai membentur lantai dan isinya berhamburan.

Senja yang menghiasi langit sore juga perlahan menghilang. Berganti dengan kegelapan tanpa cahaya yang menerangi. Kecuali lampu-lampu jalan yang mulai menyala sebagai ganti sang rembulan untuk bertugas menerangi kota.

Keramaian juga tidak ada habisnya mengisi sepanjang ruang kota yang tidak pernah tertidur. Berbanding terbalik dengan Gita yang merasa begitu kesepian. Karena itu dia terus berteriak meminta Tuhan agar bersuara menjawab pertanyaan serta kekecewaannya. Dia terlalu larut dalam kesedihannya sendiri sampai tidak menyadari bahwa kedua orang tuanya juga terluka.

Tuhan tidak akan mau menjawab jika hati manusia masih tertutupi oleh kemarahan. Bahkan seseorang yang terlihat di luar pintu kamar rawat Gita juga enggan menjawab raungan gadis yang keras kepala itu. Tangan seorang itu hanya menyentuh kenop tanpa berniat memutarnya. Mendengar isak tangis Gita cukup membuatnya mengerti kalau gadis itu sedang tidak bisa diganggu.

Punggung pemuda itu menegang ketika sekali lagi terdengar jeritan memilukan dari dalam kamar rawat Gita. Tangganya bergerak memutar kenop. Tetapi tampaknya pemuda itu masih enggan untuk masuk. Gerakannya hanya bertahan di sana. Sementara Gita di dalam sudah dalam kondisi membutuhkan pertolongan. Dilema merenggut indera pendengarannya. Dan keraguan mengakhiri niat pemuda itu untuk masuk. Pada akhirnya dia memilih pergi menjauhi kamar rawat Gita dengan pundak melorot menandakan kekalahannya.


***

Dan bagaimana kamu menilai Gita setelah baca bab ini?



by Emma RO

Dear You, Gita! ✔ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now