22 - Kecewa

9 0 0
                                    

“Gita, aku mohon kamu harus bertahan.”

David berlari beriringan dengan brankar yang di dorong di mana Gita terbaring di atasnya dengan mata yang tertutup. Di belakangnya menyusul Pandu dan Gilang. David begitu panik ketika mengeluarkan Gita dari dalam air dan gadis itu sudah tidak sadarkan diri. Berkali-kali ia menyerukan nama Gita bahkan tidak ada sahutan apa pun dari gadis itu. Tindakan pertolongan pertama pun sudah dilakukan. Tidak ada perubahan. Mata Gita masih terpejam rapat.

Hingga akhirnya David berlari panik sembari menggendong Gita menuju ke mobilnya. Hendak membawa Gita langsung ke rumah sakit. Tentu saja Gilang langsung menghalangi. Ia tidak mungkin membiarkan David menyetir sendiri dalam keadaan yang kalut. Akhirnya ia dan Pandu yang mengantarkan mereka.

Gita sudah masuk ke ruang UGD. Tetapi David masih saja panik. Laki-laki itu mondar-mandir di depan pintu ruangan mengharap dokter segera keluar dengan membawakan kabar yang baik. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri kalau Gita sampai kenapa-kenapa. Mengapa ia begitu ceroboh meninggalkan gadis itu sendirian.

Kalimat sesal saja tidak bisa membuat David menjadi lebih tenang.

“Lo duduk dulu, Dav,” tegur Gilang. Melihat David mondar-mandir lebih memusingkan dari pada melihat komedi putar yang lampunya menyala berkerlap-kerlip.

“Gue mana bisa duduk sementara Gita di dalam gak tahu gimana kondisinya, Gil,” tolak David dan dibiarkan oleh Gilang. Percuma saja memaksa David duduk karena pasti akan berdiri lagi.

Derap langkah kaki kemudian menggema di ruangan yang serba putih itu. Koridor yang tidak begitu luas membuat suaranya dapat terdengar ke berbagai arah. Termasuk Gilang dan Pandu yang langsung menoleh. Tidak dengan David yang sepertinya telinganya sudah tertutupi dari hal apa pun selain tentang kondisi Gita.

“Ada orang tuanya Gita, Bos,” bisik Pandu untuk memberitahukan kedatangan pasangan orang tua itu. David lantas berbalik dan menemukan wajah Septyo yang sudah mengeras terpenuhi oleh emosi. Dalam sekejap pun kepala David meneleng ke samping karena menerima pukulan di pipinya. Yang melakukannya sudah pasti adalah Septyo. Pekikan terkejut terdengar dari mulut Risa. Namun David menerimanya dengan rela dan hati yang ikhlas.

Wajar saja kalau papa Gita itu marah padanya. Septyo sudah mempercayakan dirinya untuk menjaga Gita. Berulang kali mengingatkan David untuk jangan meninggalkan Gita sendirian ketika laki-laki itu meminta izin Septyo akan membawa Gita ke pesta ulang tahun adik ipar sepupunya. Begitu mudah ketika David mengucapkan kesanggupannya. Tapi kenyataannya malah dia sudah mengingkari. Yang terjadi sekarang justru Gita telah celaka karena keteledoran dirinya.

“Harusnya saya tidak pernah memberikan izin apa pun lagi setelah tahu Gita berhubungan dengan kamu. Tidak seharusnya Gita kenal kamu karena yang kamu bawa untuknya hanya kesialan saja.” Telunjuk Septyo mengacung emosi ke arah David yang hanya mampu tertunduk diam. David tidak bisa membela diri karena yang terjadi memang salahnya.

“Sebenarnya itu salah saya—“

“Kamu siapa?” potong Septyo dengan nada sinis pada Pandu yang hendak memberi klarifikasi.

“Saya pegawai di studionya David dan—“

“Jadi urusan kamu apa?” Septyo kembali memotong.

“Ndu, tidak usah,” bisik pelan David agar Pandu tidak perlu mengatakan apa pun untuk membela dirinya.

“Permintaan maaf mungkin terlalu sederhana untuk kesalahan saya yang fatal, tapi meskipun begitu saya tetap ingin meminta maaf sedalam-dalamnya karena sudah lalai menjaga Gita. Saya mohon Om tetap mengizinkan saya menunggu Gita sampai dia sadar.”

“Kamu masih ingin menemui putri saya lagi? Apa kamu tidak memiliki rasa malu, huh?” hardik Septyo dengan keras. Tak lama seorang suster datang lalu memperingati mereka agar jangan membuat keributan.

“Pa, yang tenang dulu, ya. Kita tunggu dokternya keluar,” bujuk Risa pada suaminya itu. Risa menarik tangan Septyo untuk diarahkan duduk di kursi tunggu. Memberikan nasihatnya pada sang suami agar mengontrol emosinya. Padahal dirinya sendiri juga kalut dan sepanjang perjalanan ke rumah sakit tidak hentinya menangis.

Sementara David masih berdiri di dekat pintu agar dia bisa menanyakan langsung ketika dokternya keluar nanti.



***
.
.
.
PART SELANJUTNYA DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN







by Emma RO

Dear You, Gita! ✔ [Sudah Terbit]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora