13 - Kembali

6 0 0
                                    

Total delapan hari Gita dirawat di rumah sakit. Orang tuanya kukuh untuk Gita tetap di rawat meski gadis itu sudah bilang merasa baik-baik saja. Bahkan muntah yang sempat terjadi parah di hari-hari awal di rawat sudah hilang. Juga demam yang naik turun selama empat atau lima hari sudah reda di hari ketujuh. Tetapi Septyo tidak mengizinkan ketika Gita merengek hendak pulang. Baru hari ke sembilan gadis itu akhirnya pulang. Jam tujuh pagi di jemput oleh Pak Usman.

Tetapi hari ini adalah hari ke lima belas. Sudah selang hampir satu minggu dirinya pulang dari rumah sakit. Tapi baik Risa ataupun Septyo tidak mengizinkan Gita untuk keluar dari rumah. Bahkan kuliah juga tidak boleh. Terpaksa Gita kembali absen dari kuliahnya. Sudah berapa hari dia tidak masuk kelas? Teman-temannya pasti mengutuknya karena ada tugas kelompok tapi ia tidak bisa hadir membantu mengerjakannya.

“Ma, Gita mau ke tempat kak David ya hari ini. Lukisan Gita yang waktu itu belum selesai, Ma,” bujuk Gita kepada Risa yang saat ini sedang memotongi rumput di halaman belakang rumahnya. Sementara Gita ada di teras.

Pagi ini cukup cerah sehingga Gita bisa berjemur di bawah terik matahari pagi yang masih sehat. Biasanya di hari libur ia dan mamanya itu akan yoga di atas rerumputan bersiramkan cahaya matahari. Tapi kini dirinya adalah orang cacat yang tidak bisa lagi menemani aktivitas mamanya. Malah dengan tidak tahu diri ingin kabur ke studio David.

“Kamu ngapain sih mau ke rumah David? Kamu ‘kan belum kenal sama dia, Sayang. Kamu tidak takut nanti kamu dijahatin?” ujar Risa masih tidak memandang Gita. Rumput di bawahnya itu lebih minta diperhatikan.

“Meski kata-kata kak David lebih banyak kasar, tapi sebenarnya dia itu orang yang baik, Ma. Kalau jahat pasti sudah celakain Gita dari lama.”

“Tapi papa kamu sudah melarang kamu untuk ke sana lagi, Sayang.”

“Tapi Mama pasti bisa bujukin papa. Kalau Mama sudah mengizinkan Gita, papa gak akan marah, Ma ...,” bujuk Gita lagi tak ingin menyerah.

Wanita paruh baya itu menghela napas. Ia meletakkan alat pemotongnya begitu saja di atas rerumputan lalu menghampiri Gita. Risa berjongkok di depan putrinya itu. “Memangnya kamu tidak mau di rumah aja menghabiskan waktu sama Mama?”

Gita meringis mendengar pertanyaan mamanya. Ia tersenyum dengan sangat manis dan berbisik sekali lagi untuk membujuk Risa agar ia diizinkan keluar. Mau tidak mau akhirnya pun Risa mengizinkan Gita. Ia akan kalah kalau Gita sudah merajuk dengan cara yang seperti itu.

“Tapi kamu boleh perginya besok, ya. Hari ini temani Mama dan kita ngeteh bareng. Nanti siang juga akan ada dokter yang akan periksa kaki kamu dan kita akan latihan buat terapinya.” Ucapan terakhir Risa itu sempat membuat Gita menghilangkan senyumnya. Tetapi ia dengan cepat tersenyum lagi dan mengangguk untuk mamanya.


***

“Gita!”

“Iya Kak Pandu. Kak Davidnya ada?” Gita membalas seruan tidak percaya dari Pandu itu dengan senyumannya yang manis. Mata bulan sabitnya itu turut mengatakan kalau hari ini suasana hati Gita sangat bagus.

Pandu yang masih setengah tidak percaya kalau Gita kembali datang ke studio mereka, segera mengajak gadis itu masuk. Pak Usman yang tadi mengantar, sudah Gita suruh tunggu di mobil saja. Jadi dia masuk ke studio sendirian dibarengi oleh Pandu yang langsung mengambil alih kursi roda Gita. Hari ini gadis itu memang memakai kursi rodanya yang lama. Jadi membutuhkan bantuan orang lain untuk mendorongnya.

“Terima kasih Kak Pandu!” ujar Gita.

“Tidak masalah. Lo beberapa minggu ini ke mana kok gak pernah datang lagi?” tanya Pandu sudah tidak sabar lagi dengan rasa penasarannya.

Pandu sudah berulang kali membombardir David dengan pertanyaan ke mana Gita tapi bos yang sekaligus sahabatnya itu tidak juga menjawab. Malah terkesan David menjadi acuh dan sering marah-marah untuk sesuatu yang bukan kesalahannya. Kalau seperti itu David sangat mirip sekali dengan sepupunya, Leo.

“Gita di rumah aja kok, Kak. Ada banyak tugas kuliah yang harus Gita selesaikan,” bohong gadis itu. Kendati demikian senyum Gita tidak lantas pergi. Sepertinya gadis itu sudah semakin mahir dalam menyembunyikan perasaan hatinya yang sesungguhnya.

“Waah, mahasiswa rajin, ya?” goda Pandu dengan sebuah kekehan. Tak dinyana Gita membalasnya dengan tawa yang lebih keras. Suaranya itu mengundang David yang sedang ada di ruang rapat. Laki-laki itu membuka pintu dan memunculkan kepalanya.

“Ekhem!” tegurnya dengan dehaman. “Kalau kalian mau ribut jangan di sini.”

“Hai Kak David!” seru Gita malah tak mempedulikan peringatan David. Tetapi laki-laki itu tidak menghiraukan sapaan Gita bahkan tidak memandang gadis iitu sama sekali. David meminta Pandu membawa Gita ke ruangannya saja.

“Dia lagi rapat. Pasti nanti akan nemuin lo kok,” hibur Pandu begitu melihat wajah cemberut Gita.

“Iya Kak Pandu.”


***

Ini adalah kali kedua Gita berada di ruangan pribadi David. Setelah waktu itu di mana David sembarangan membuka pintu dengan keadaan yang tidak senonoh di hadapan Gita. Saat ini Gita tidak khawatir lagi kalau kejadian itu akan terulang karena ia sudah datang di jam kerja. Sudah cukup siang untuk seorang David bangun dari tidurnya.

Gita mengamati ruangan David yang tidak berbeda dari sebelumnya. Yang membuatnya beda mungkin hanyalah kehadiran lukisan bunga milik Gita yang gambarnya tidak menyerupai bunga sama sekali. Gita jadi terkekeh sendiri melihatnya. Ia kira mungkin lukisannya sudah dibuang oleh David karena ia sudah lama sekali tidak datang.

Sebelumnya saja Gita tidak yakin bisa datang ke studio David lagi. Ia kira tidak akan lolos dari peraturan papanya. Tapi berkat sang mama akhirnya Gita masih diizinkan datang menemui David.

Perlahan gadis itu menggerakkan roda di kursinya untuk mendekati lukisan hasil gambarnya itu. Catnya banyak kotor di sana sini karena Gita tidak bisa rapi. Seumur hidupnya ia tidak pernah memegang kuas dan melukis. Yang Gita fokuskan hanya berenang dan bagaimana bisa kuat menahan napas di dalam air. Gita tidak pernah membayangkan ingin menggambar. Ia hanya ingin menjadi kebanggaan negara. Mewakili negara dan berlomba di banyak kesempatan. Baginya itu yang dinamakan keberhasilan.

Tetapi dengan kondisinya saat ini tentu Gita sudah tidak bisa lagi mewujudkan impiannya.

“Kak David!”

Gita baru saja hendak menyentuh lukisannya ketika pintu ruangan dibuka dari luar dengan tiba-tiba. Ia menoleh dan langsung disambut wajah heran yang bercampur tidak suka dari seorang gadis di ambang pintu.

“Kamu siapa?” tanyanya dengan nada yang menuntut. Sasa mendekati Gita dan mengamati Gita dari atas hingga bawah. Selama ia mengenal David, ia tahu hal yang paling tidak David sukai adalah ketika ruang pribadinya dimasuki oleh orang asing. Dirinya bisa masuk saja karena akses dari kakak ipar. Tetapi siapa gadis berkursi roda itu yang berani sekali memasuki ruangan David?

“Tamu gak bisa sembarangan masuk ruangan ini. Sebaiknya kamu keluar sebelum Kak David datang dan memarahi kamu,” ujar Sasa lagi begitu tidak suka.

Sementara Gita juga bingung karena baru bertemu Sasa tapi gadis itu sudah marah-marah kepadanya. Gita mengusap pahanya dengan gelisah. Ia bingung untuk menjelaskan karena dirinya juga tidak memiliki kepentingan apa pun yang berhubungan dengan profesi David.

“Emm ... sebenarnya—“

“Udahlah kamu lama banget.”

Belum selesai Gita berucap, Sasa sudah bergerak mendorong kursi roda Gita untuk didorong keluar dari ruangan David. Gadis itu tidak bisa apa-apa. Hanya menoleh dan berusaha menghentikan Sasa agar mendengarkan dirinya dulu.

“Tunggu, Gita bisa jelaskan.”

Namun percuma saja karena Sasa tidak mendengarkan. Gadis manja itu sudah terlanjur tidak terima melihat seorang gadis ada di ruangan pribadi orang yang dia sukai. Sasa tidak ingin membiarkan siapa pun dapat menggantikan keistimewaannya yang bisa masuk ke ruangan pribadi David.

“Ada apa ini?”


***





by Emma RO

Dear You, Gita! ✔ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang