6 - Pergi Bersama

12 1 0
                                    

“Kamu yakin Git?”

Gadis yang masih setia duduk di kursi rodanya itu menatap langit siang itu yang sedikit diselimuti oleh awan mendung. Jadi cuaca tidak begitu menyengat dan membuatnya harus mengeluarkan keringat. Jangan salah. Meski Gita hanya duduk di kursi roda saja dan tidak melakukan kegiatan yang berat, tetapi gadis itu tetap bisa merasakan lelah dan berkeringat. Terlebih ia tidak bisa langsung berlari saat berada di luar gedung dengan cuaca yang terik.

Gita yang ditemani kedua sahabat perempuannya sedang berada di dekat pos satpam kampusnya. Tepatnya di bawah pohon besar yang bisa menaungi mereka dari sinar matahari. Tetapi mereka cukup beruntung karena matahari sedang bersembunyi.

Gita masih memandangi pergerakan awan gelap yang menjauh. Tetapi kemudian akan datang awan gelap yang lain. Sementara angin saat itu cukup kencang hingga menerbangkan rambut Gita yang terurai menutupi wajah cantiknya. Meski ia berulang kali menyingkirkannya agar pandangannya pada langit tidak terhalang.

“Gita yakin kok, Sa,” ujar gadis itu untuk menjawab pertanyaan dari Annisa.

“Tapi sampai sekarang aja dia belum datang,” timpal Tere. Sejak tadi gadis itu mengawasi gerbang kampus untuk melihat kedatangan dari orang yang mereka tunggu.

“Sebaiknya kita pulang saja, Non!” sambung pak Usman yang seperti biasa, selalu Setia menemani Gita dan menunggu gadis itu selesai ngampus, maka pak Usman bisa langsung mengantar Gita pulang. Pak Usman sudah cemas karena ia diwanti-wanti tuannya agar segera membawa Gita pulang. Tapi mereka malah masih ada di sana meski tiga puluh menit berlalu sejak kelas Gita dinyatakan selesai.

Pak Usman lebih tidak tega karena di sana banyak mahasiswa dan mahasiswi yang lewat memperhatikan Gita dengan pandangan kasihan lalu berbisik-bisik yang pastinya membicarakan nona majikannya itu. Sesekali pak Usman memergoki mata Gita berubah sendu ketika menyadari orang-orang yang mengasihani dirinya.

Mungkin itu alasannya Gita lebih memilih memperhatikan langit yang birunya telah lenyap itu. Merasa satu nasib. Hanya ada kegelapan tanpa warna yang menghiasi. Sungguh sangat tidak indah sekali untuk dilihat.

“Kita tunggu sebentar lagi, Pak. Gita sangat yakin David pasti akan datang.” Tetapi Gita masih saja kukuh sebanyak apa pun pak Usman membujuk. Lelaki itu menghela napasnya pasrah. Yang penting dia akan pasang badan kalau saja David menyakiti nonanya lagi.





***


David melihat jam yang melingkar di tangannya lalu pria itu berdecak. David berada di dalam mobil sedang memperhatikan Gita yang bersama dengan teman-temannya. Sudah empat puluh lima menit ia berada di sana. Tidak jauh dari keberadaan Gita. David hanya iseng menuruti gadis itu untuk datang ke kampus menjemputnya. Dia tidak berniat benar-benar menjemput Gita. Sengaja pula dia ingin melihat reaksi Gita kalau ia tidak muncul. Tetapi Gita malah terus menunggunya.

Batin David merasa bersalah. Dia pun segera melajukan mobilnya untuk menghampiri gadis itu.

“Cepat naik!” ujarnya ketika sampai di depan Gita. Tanpa basa-basi lagi dia meminta Gita agar segera naik ke mobilnya. Tanpa menyapa sahabat-sahabat Gita atau membantu gadis itu naik ke mobilnya. Semua dilakukan oleh pak Usman sendirian.

“Apa tidak dibatalkan saja, Non? Atau Non Gita lebih baik bareng Bapak saja, ya?” bujuk pak Usman sembari melirik tidak senang kepada David. Lelaki itu begitu ragu membiarkan Gita hanya pergi bersama David berdua saja. Dia khawatir kalau nonanya itu akan dijahati oleh David.

Tetapi yang namanya Gita itu sangat kerasa kepala. Meski dibujuk pak Usman dengan alibi kalau papanya akan memarahi laki-laki paruh baya itu, Gita tetap nekat ingin pergi bersama David saja.

Dear You, Gita! ✔ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now