3 - Masa Keterpurukan

26 6 2
                                    

Gorden di jendela sebuah kamar itu terbuka lebar. Menampilkan pemandangan indah sebuah taman kecil dengan kolam air mancur buatan yang menyuarakan gemericik air. Melodinya seolah memberikan ketenangan bagi siapa saja yang mendengarnya. Kemudian di sampingnya juga dilengkapi gazebo berukuran sedang. Selain bisa untuk berteduh dari sengatan cahaya matahari, gazebo itu juga biasanya digunakan untuk bersantai dan berkumpul keluarga menikmati waktu bersama yang terbilang jarang sekali bisa dilakukan. Tetapi Gita lebih suka duduk di pinggir kolam air mancur dan mencelupkan kakinya di sana. Sebab di rumahnya tidak memiliki kolam renang sehingga hanya tempat itulah yang bisa digunakan Gita untuk bisa bermain air.

Tetapi kali ini Gita hanya bisa memandangi tempat itu dari balik jendela kamar yang ditempatinya saat ini. Kecacatannya membuat Gita harus pindah ke kamar di lantai bawah yang malah membuat gadis itu semakin murung. Pikirannya berkelana bebas mengingat bagaimana bahagianya dirinya ketika bermain air di kolam itu. Sementara kenyataan sekarang harus menampar Gita untuk tersadar bahwa dia sudah tidak bisa lagi bermain dengan bebas lagi seperti dulu.

Sudah dua minggu sejak Gita pulang dari rumah sakit. Selama itu pula dia hanya mengurung dirinya di dalam kamar. Gita tidak ingin menemui siapa pun. Sahabat-sahabat gadis itu beberapa kali datang, namun Gita tetap tidak ingin menemuinya. Bahkan ibu panti dan beberapa anak turut berkunjung, gadis itu lebih tidak ingin menemuinya. Gita akan mulai menangis karena biasanya dialah yang memberikan semangat kepada anak-anak panti, tetapi kondisinya saat ini berbanding terbalik dan Gita tidak ingin terlihat menyedihkan.

Tok.. Tok.. Tok..

Ketukan pada pintu kamarnya memanggil Gita untuk tersadar dari lamunan. Gita menoleh menunggu mamanya membuka pintu. Gadis itu yakin Risa lah yang mengetuk pintu. Sebab saat ini sudah masuk di jam makan siang dan biasanya Risa yang akan mengantarkan makanan untuknya dan menyuapi Gita sembari bercerita banyak hal agar putrinya itu tidak merasa sendirian dan terbuang.

Tetapi pintu tidak kunjung terbuka membuat Gita menjadi heran. Ah, mungkin bibi yang mengetuknya. Maka perempuan paruh baya yang bekerja di rumahnya itu pastilah tidak berani langsung membuka pintu.

Kini Gita harus beranjak sendiri untuk membukakan pintu. Dengan kesusahan karena tidak terbiasa menggunakan kursi roda, gadis itu berusaha memutar kursi rodanya.
“Sebentar, Bi ...,” ujarnya dengan suara serak. Ketahuanlah kalau Gita habis menangis.
Hingga lima menit berlalu Gita masih berusaha memutar kursi rodanya yang tidak kunjung terputar juga. Gadis itu mulai merasa kesal dan kini air mata sudah menggenang di balik pelupuk matanya.

“Kenapa ini gak mau bergerak, sih?” rutuknya bersamaan dengan air mata yang mengucur deras. Gita mulai kehilangan kontrol emosinya dan gadis itu memukul-mukul kursi rodanya. Menyangka itu akan bisa berjalan kalau dia memukulnya.

Kursi roda bukanlah sapi yang akan berjalan setelah di tepuk pantatnya, Gita. Ada-ada saja kelakuan orang yang sedang terselimuti oleh amarah. Tapi tentu saja Gita tidak peduli dengan kenyataan itu. Dia hanya ingin kursi rodanya bisa segera berjalan dan ia bisa membukakan pintu. Sekali lagi Gita mencoba menyangkal bahwa dirinya tidak berguna, tetapi kenyataan selalu menunjukkan yang sebaliknya. Gita memang tidak berguna.

Gadis itu menjerit karena sudah pasrah. Dia menangkupkan tangan di atas wajahnya untuk menghalau air mata yang tentu saja terus mengalir karena Gita memilih menangis. Berharap orang di luar akan masuk dan membantunya.

“Gita ...?!” seru sebuah suara asing yang membuat Gita terkejut. Sontak dia membuka tangkupan tangannya dan melihat Anton lah yang masuk dengan membawa nampan berisi makan siangnya. Gita semakin menangis karena merasa amat malu terlihat menyedihkan di depan sahabatnya itu.

“Ssstttt ... gue ada di sini,” ujar Anton sambil mendekap kepala Gita dalam pelukannya. Sementara Gita semakin kencang menangisnya.


***

Dear You, Gita! ✔ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now