5 - Mendatangi David

15 3 0
                                    

“Gita kamu gak papa, ‘kan?”

Anton yang semula masih berada di tempat yang tidak begitu jauh dari Gita, segera menghampiri gadis itu. Dia sangat khawatir Gita akan kembali terpuruk karena perkataan dari pria asing itu. Kalimat yang dilontarkan sungguh tidak manusiawi sekali. Anton mengepalkan tangannya dengan geram. Kalau tidak keduluan pria itu pergi, Anton sudah melayangkan tinjuannya untuk si pria yang kurang ajar itu.

Gita menghapus jejak air mata yang sempat jatuh di pipinya sebelum gadis itu mendongak menatap Anton. Ia tersenyum manis sembari menggelengkan kepala. “Tidak apa-apa kok, An.”

“Kita pergi saja dari sini, Git!” ajak Anton. Dia sudah memutar kursi roda Gita dan hendak mendorongnya, tetapi Gita langsung menghentikan.

“Sebentar, An. Gita mau tanya dulu sama Prita apa dia kenal laki-laki tadi. Gita gak tentang sebelum Gita bisa minta maaf,” ujarnya memberi penjelasan ketika raut bertanya Anton tampak di wajahnya.

“Dia juga udah nyakitin kamu, Gita! Ngapain kamu harus minta maaf segala ke dia?” geram Anton tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. Tangannya masih menegang dan siap dipukulkan pada wajah tampan David. Kalau bertemu lagi, Anton tidak akan melepaskannya begitu saja.

“Tapi Gita duluan yang salah, An.” Gita memaksa sehingga mau tidak mau Anton menuruti kemauan gadis yang dia sayangi itu. Anton memutar kursi roda Gita supaya menghadap pada Prita. Gadis yang mengaku sebagai fans Gita itu tersenyum canggung.

“Yang aku tahu kak David adalah photografer yang mengambil foto untuk peserta olimpiade renang kampus tahun ini.” Prita meringis tidak enak hati. Sebab tahun kemarin Gita masih ikut sebagai perwakilan kampus dalam olimpiade itu. Tetapi saat ini gadis itu malah terduduk tidak berdaya di atas kursi rodanya.

“Ah, begitu ya?” lirih Gita. Dia lantas tersenyum setelah sempat terdiam beberapa saat. Gita mengucapkan terima kasih pada juniornya itu.



***


“Benar yang ini gedungnya, Non?” Pak Usman menoleh ke kanan dan kiri melihat dari jendela mobil untuk mencari alamat yang tepat yang sesuai dengan alamat yang dibawa oleh Gita.

“Sepertinya iya, Pak,” jawab gadis itu meyakinkan pak Usman. Sekali lagi Gita membaca deretan huruf di atas kartu nama yang kemarin diberikan oleh Prita. Junior Gita itu berbaik hati memintakan karu nama si photografer kemarin pada pelatih mereka.

Sebuah gedung bergaya minimalis dengan dua lantai itu tidak tampak seperti studio. Malah lebih mirip sebagai rumah. Tempatnya saja ada di perumahan. Tadinya Gita sangsi bahwa alamat yang diberikan itu benar. Tetapi saat sampai, papan nama studio yang menempel di pohon pakis itu meyakinkan Gita bahwa dirinya tidak salah alamat. Memang benar rumah itu adalah Ayunda’s Studio.

Saat melihat nama itu di kartu nama tadi, Gita sempat merasa aneh. Orang akan membuat nama usahanya dengan nama yang unik. Atau mentok-mentok ya menggunakan namanya sendiri, tetapi David menggunakan nama perempuan, apakah itu nama kekasihnya? Sangat berlebihan sekali kalau benar. Gita mengira David bukan orang yang romantis seperti itu yang menjadikan nama kekasih sebagai nama studionya.

“Hati-hati, Non.”

Gita berpegangan erat pada bahu pak Usman ketika lelaki itu mengangkat tubuhnya agar berpindah pada kursi roda yang sebelumnya sudah dikeluarkan. Setelah memastikan nonanya duduk dengan nyaman, pak Usman lalu mendorong kursi roda menuju ke rumah yang dijadikan studio itu. Pintu gerbangnya tidak ditutup sehingga mereka bisa langsung masuk ke halaman. Banyak sekali tanaman yang tertata dengan apik di sana. Sepertinya itu sengaja di tanam untuk bisa dijadikan latar belakang pemotretan. Prewedding misalnya. Itu ‘kan identik sekali dengan bunga-bunga dan taman.

Dear You, Gita! ✔ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now