11 - Ada Yang Kangen

9 1 0
                                    

“Gita lo kenapa sih? Bikin kita khawatir tau gak!”

Gadis itu hanya meringis dan merasa tidak enak pada sahabat-sahabatnya yang harus khawatir terhadap dirinya karena kembali masuk rumah sakit. Malam-malam mereka semua langsung datang menjenguknya. Gita juga tidak tahu kapan tepatnya keempat sahabatnya itu datang. Dia bangun tidur sudah diperdengarkan celotehan Annisa yang berantem dengan Rudi. Gita hanya ingat sempat bangun sesaat kemudian setelah minum obat malam terasa sangat mengantuk. Gita positif gejala tifus.

“Maafin Gita ya!” sesal gadis itu.

“Kamu sakit pasti karena kelelahan. Belakangan ini kamu sering pergi ke mana-mana, Git. Jadi setelah ini kamu harus benar-benar kasih badan kamu istirahat, oke?” Anton menasihatinya sembari menyentil pelan dahi Gita pertanda Anton sangat gemas. Dengan ini Anton semakin menyalahkan David atas sebab Gita menjadi kelelahan. Anton janji tidak akan membiarkan Gita bertemu lagi dengan laki-laki itu.

“Iya, iya. Anton bawel deh kayak mamanya Gita.”

Berbicara tentang Risa, Gita jadi ingat belum melihat kedua orang tuanya. Ia pun celingak-celinguk untuk mencari keberadaan mereka. Sore tadi Gita melihat Risa dan Septyo sangat khawatir kepadanya. Mau tidak mau itu membuatnya merasa bersalah terhadap orang tuanya yang sampai saat ini masih setia mengurusnya walau dengan kondisi yang sangat merepotkan.

“Mama kamu lagi makan, Git. Tadi kami suruh mereka makan karena sejak tadi pasti masih jagain kamu.” Anisa memberitahu setelah mengerti apa yang sedang Gita cari-cari.

Mendengar itu Gita jadi semakin merasa bersalah. Ia tidak berpikir kalau orang tuanya mungkin belum makan. Tapi dirinya sangat egois selalu saja membuat Risa dan Septyo terus merasa khawatir terhadapnya.

“Sudah, tidak apa-apa.” Anton maju lebih dekat pada Gita untuk mendekap kepala gadis itu. Berusaha menenangkan Gita yang sebentar lagi tampak akan menangis. Akhirnya gadis itu malah menangis di dada Anton. Meluapkan segala rasa frustrasinya atas kehidupannya saat ini.

Sungguh Gita masih tidak mengerti dan bingung, mengapa kehidupannya bisa berubah seratus delapan puluh derajat seperti ini. Harusnya dia sudah bahagia karena impiannya menjadi perenang nasional akan semakin dekat dan terwujud. Tapi sekarang ia malah berakhir di ranjang rumah sakit dengan keadaan yang tidak berdaya. Mudah sakit dan mudah menangis.

Kadang ia juga bertanya-tanya, kebaikan mana yang belum dia lakukan? Atau kejahatan apa yang telah dia lakukan yang mungkin tidak disadarinya. Sehingga Tuhan memberikan cobaan sebesar itu kepadanya.


***

“Bos, Gita kok gak pernah datang lagi? Lo kasarin dia lagi, ya?”

Pandu bertanya disela-sela laki-laki itu membereskan berkas-berkas yang menjadi kontrak dengan klien dan dokumen-dokumen lainnya dari atas meja di ruang rapat. Sementara David di salah satu kursi malah sedang asik memperhatikan hasil jepretan foto di dalam kameranya.

Sementara Gilang yang sedang memilah-milah foto di laptop untuk dipisahkan mana yang bagus untuk diedit dan mana yang akan di buang nantinya, seketika langsung menoleh kepada Pandu. “Lo niat banget nanyain itu cewek,” komentarnya.

“Bukan begitu, Lang. Gue hanya heran aja karena Gita biasanya ‘kan akan datang ke sini. Gue yang selalu bukain pintu untuk dia, jadi wajar ‘kan kalau gue ngerasa heran?”

“Mungkin dia ada urusan. Bukannya masih kuliah, ‘kan?” sahut Gilang lagi. Tapi kalimat terakhirnya itu ia tujukan kepada David yang sejak tadi tidak ada suaranya sama sekali.

“Bagus lah kalau dia gak datang lagi.” Hanya itu yang diucapkan David sebelum ia memilih pergi dari sana.

David pindah ke ruangan pribadinya. Menutup rapat-rapat pintunya dan mengunci dari dalam. David tidak ingin kedua sahabat konyolnya itu menyusul lalu merecoki dirinya dengan pertanyaan seputar Gita. David sendiri tidak tahu mengapa Gita tidak datang lagi semenjak dijemput seorang cowok hari itu. Sudah terhitung satu minggu lebih dan tidak ada kabar apa pun dari Gita.

Dear You, Gita! ✔ [Sudah Terbit]Where stories live. Discover now