4 - Semangat Baru

17 5 0
                                    

Langit menunjukkan warna biru yang cerah. Udara yang berhembus pun semilir meniupkan kesegaran yang jarang sekali bisa dirasakan. Meminimalisir efek terik matahari yang tak terhalang apa pun untuk mengenai seluruh benda di bumi.

Gita memandangnya sejenak sebelum dibantu papanya masuk ke dalam mobil. Senyumnya secerah warna outfit yang dikenakannya hari ini saat gadis itu mengucapkan terima kasih untuk Septyo. Lelaki paruh baya itu tentu membalas ucapan dari putrinya dengan sapaan yang tidak kalah bahagia. Senyum juga terpatri halus di atas bibirnya yang kian mengerut seiring usia memakan waktunya.

“Kamu yakin tidak ingin Papa temani?”

“Gak perlu, Pa. Gita bukan anak kecil lagi, oke?!”

Septyo mengangguk paham dan mengecup dahi Gita sebelum akhirnya memberi kode pada sang sopir untuk segera jalan. Sementara Gita melambaikan tangannya saat mobil mulai melaju. Hingga kendaraan itu keluar dari area rumahnya baru gadis itu berhenti melambai dan menutup kaca jendela sampai tertutup rapat. Tidak dia biarkan orang lain bisa melihat senyum manisnya.

Hari ini tepat hari ke seratus lima puluh enam gadis itu menjalani kehidupan lumpuhnya. Segala perasaan jatuh bangun sudah dia alami sendiri. Satu hal yang dia sadari saat ini bahwa dirinya tidaklah sekuat apa yang sebelumnya dia pikirkan. Gita berani berlatih sekeras apa pun untuk mewujudkan impiannya menjadi perenang hebat. Dia kira dirinya sudah kuat dari segala tempaan air yang sering kali mencambuk tubuhnya. Membuat kulitnya kering dan perih. Terlebih matanya akan terlihat seperti monster bermata merah.

Gita kira dirinya sudah menjadi seseorang yang kuat. Namun kenyataannya dirinya sangat lemah. Mendapatkan ujian saja dia mengeluhkan pada Tuhan yang telah memberinya kehidupan. Seharusnya dia bersyukur Tuhan tidak mengambil napasnya.

“Nanti Bapak tidak perlu mengantar Gita ke dalam kelas karena ada teman Gita yang akan menemani,” ujar gadis itu pada sopir keluarganya yang tadi dipesankan oleh Septyo agar menemani Gita agar bisa mengantar gadis itu pergi ke mana saja.

“Baik, Non.”

Setelah sekian lama tidak masuk kampus lagi, akhirnya Gita memutuskan untuk masuk lagi. Sudah berapa pelajaran yang tertinggal olehnya. Impiannya untuk menjadi perenang mungkin sudah kandas, tetapi Gita tidak bisa membiarkan impian lainnya juga ikut gugur.

“Gita!” panggilan itu seraya membuat Gita menolehkan kepala. Dirinya baru saja dibantu turun oleh pak Usman. Ternyata para sahabatnya sudah menunggu dirinya. Mereka bertiga langsung menghampiri Gita.

“Akhirnya lo ngampus lagi, Git. Gue kangen banget nih sama lo,” ujar Rudi seperti biasa dengan nada bercandanya.

“Jangan modus lo!” sela Annisa. Gita jadi terkekeh karena melihat dua sahabatnya itu tidak berubah. Masih saja suka bertengkar satu sama lain.

“Terima kasih, Pak! Gita udah bisa sama teman-teman,” ujar gadis itu pada sopir keluarganya itu. Pak Usman mengangguk dan langsung pamit pergi. Lelaki itu akan menjemput saat Gita hendak pulang nanti.

“Ayo, kita antar lo ke kelas.” Tere mengambil alih kursi roda Gita dan mendorongnya.

“Gue tuh kesal deh sama Anton. Padahal dia sudah bilang bisa, tapi tetap saja sekarang dia gak datang. Maafin dia ya, Git!” dumal Annisa. Raut mukanya sudah seperti Annisa ingin menjambak rambut Anton. Gita jadi membayangkannya.

Dear You, Gita! ✔ [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang