29. Jeno, gila.

30.9K 1.8K 242
                                    

Jaemin menghela nafasnya dengan berat sepagi ini, gimana nggak coba? Ngeliat tingkah Jeno yang dirasa semakin menjadi gila bikin setengah jiwa Jaemin meradang.

Astaga, tolong bayangin gimana keselnya Jaemin sewaktu membuka mata pasti liat fotonya.

Foto-foto yang Jaemin take buat majalah malah diprint semua sama Jeno.

Kayak, setiap detiknya Jaemin hampir ikutan gila gara-gara denger suara print udah macam buronan.

Kret kret kret

Lagi, baru buka mata tapi telinga Jaemin udah dihantui sama suara mesin printer dari ruang kerja suaminya— yang jaraknya cuma beberapa langkah, terdengar jelas karena masih pagi untuk orang beraktivitas.

"Ngentot." Decak Jaemin frustasi, badannya lelah dipeluk Jeno semalaman nggak bikin emosional Jaemin mereda.

Bangkit untuk duduk, kemudian stretching sebentar sebelum mengawali harinya. Masih dengan kesadaran minim, Jaemin menghampiri Jeno di ruang samping dengan rasa malas.

"Mas," sapa Jaemin— sedikit malas dan suara serak buat siapapun tau kalau sapaan ini ga ada tulus-tulusnya, bersandar di kusen pintu sambil melipat tangannya di depan dada.

"Pagi model Na Jaemin." Namun Jeno membalasnya dengan senyum lima jari, matanya tenggelam hingga dua titik cacat yang samar bikin Jeno tambah manis.

Jaemin tersenyum canggung, pipinya penuh semburat merah yang cantik jika disapa suaminya seperti ini.

Dari kemarin malam, Jeno selalu memanggilnya model Na Jaemin. Sebangga itu kah, Jeno? Padahal Jaemin merasa remeh jika dibandingkan dengan profesi suaminya itu.

"Mas beneran nge-print semua itu lagi?" Jarak diantara mereka hanya sedikit. Maka Jaemin menunjuk hasil cetakan fotonya di meja kerja Jeno dengan dagunya.

Jaemin ingat semalam Jeno cerita mau cetak semua fotonya dengan menggebu.
Padahal foto yang Jaemin take kemarin juga sudah diprint Jeno.

"Ya, iyalah. Malah aku mau bikin spanduk sama foto kamu, Na." Jeno terkekeh geli.
Melambaikan tangannya supaya Jaemin mendekat.

"Duduk sini," Jeno menepuk pahanya setelah Jaemin berdiri di samping meja kerja. Menatap matanya dengan satu alis terangkat.

"Ga ah, belum cuci muka." Tolak Jaemin, bahunya terangkat kecil.

Tangan lentik Jaemin membuka beberapa lembar hasil cetak fotonya, tersenyum simpul— merasa terberkati karena memiliki Jeno yang bucin sekali.

"Masih cantik kok, ga usah malu-malu babe." tapi tangan lentik Jaemin juga ditarik sama Jeno, dituntunnya sampai lebih dekat.

"Hah— gak tuh, orang takut kamu khilaf ngajak cipokan." Tawa gentle Jeno mengudara indah, Jaemin jadi mikir apa yang lucu dari ucapannya.

Ya gimana ya, duduk sampingan aja kadang Jeno asal nyosor. Apalagi pangku-pangkuan...

"Masih punya setengah jam buat pacaran, Na. Sebelum kita balik ke-kesibukan masing-masing."

Ah benar juga, Jaemin kan jadi manusia sibuk sekarang.

"Sekiranya berat badan ku naik, jangan bilang. Di batin aja." Bisik Jaemin kecil setelah Caca Cicinya bersinggungan dengan paha kokoh bersarung punya Jeno.

Jaemin duduk menyamping— noleh belakang dikit, bisa lihat wajah serius suaminya.

"Kenapa? Mau gendut apa kurus, tetep cantik kok."

"Ganteng please." Koreksi Jaemin setengah kesal.

"Cantik itu universal, Na. Ada gender atau gak, sah-sah aja dibilang cantik." Rambut legam Jaemin mencuri fokus Jeno, maka tangannya bergerak untuk mengusap kepala kecil yang didalamnya tak pernah ia tau ada berapa ton beban.

BINAL || NoMin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang