Debaran Tiga: Di Balik Tirai

182K 6.5K 203
                                    

Gambar di sebelah: Nero

Debaran Tiga

Di Balik Tirai

Aku deg-degan. Tentu saja seperti itu, karena aku baru saja melihat sosok Pangeran Tampan—empat jam lalu—dalam jarak begitu dekat. Dalam sekejap aku bisa melihat kembali ketampanan wajahnya, bagaimana dia tersenyum menawan, sinar matanya yang lembut, lesung pipinya yang menggemaskan dan bau tubuhnya yang terasa begitu dekat.

Bibirku tersenyum lagi.

"... potong bebek angsa... masak di kuali... nona minta dansa... dansa empat kali..."

Lagu jelek dari ringtone ponselku merusak segalanya. Merengut, aku meraba-raba kantung celana dan mengeluarkan ponselku.

Vion calling...

Dalam sekejap, bibirku kembali tersenyum. Terbayang segera wajah ganteng senior kelas tiga yang cakep dan manis, sopan dan santun, lembut dan bersahaja, lalu berkharisma dan bijaksana. Si Ketua Osis yang aku taksir sejak Ospek tahun lalu: Kak Vion.

Tanpa menunggu lama, aku segera mengangkat teleponnya.

"Halo?"

Cepat-cepat aku berbicara dan tanpa sadar tanganku buru-buru merapikan rambutku sendiri walau aku tahu kalau Kak Vion nggak mungkin bisa melihat penampilanku di tempatnya sana.

"Niken," kata suara lembut Vion di seberang. "Aku mau mengingatkan lagi soal proposal yang harus kamu siapkan buat rapat bulan ini. Sudah kamu kerjakan kan?"

Sambil mengangguk semangat, aku menjawab, "Sudah."

"Sekalian jangan lupa juga di-copy, ya, Nik. Nanti pertinggalnya jangan lupa kamu kasih sama aku. Oh, ya, kamu datang jam berapa besok? Besok kamu kan yang menjaga bagian gerbang depan sekolah?"

Sebagai anggota Osis Koordinator Kedisiplinan Siswa, aku bertugas mencatat siswa yang terlambat masuk sekolah, menggantikan tugas guru BP dalam batas-batas tertentu, sekaligus menasehati mereka bahkan berhak memberikan hukuman. Jika siswa telambat sampai lima belas kali, maka bukan lagi pihak Osis yang menangani siswa itu, tapi guru. Dengan begitu, pekerjaan Osis jadi lebih banyak dari pada yang seharusnya.

"Iya, Kak."

"Kalo gitu, kita ketemu besok aja di depan gerbang ya. Sekalian aku mau lihat apa proposal itu masih ada yang salah atau nggak. Tapi kayaknya itu nggak perlu, deh. Niken kan bisa diandalkan ya?"

Aku benar-benar terbang. TERBANG! Tinggi... tinggi dan semakin tinggi...

Pujian Kak Vion membuatku tak menginjak Bumi lagi.

"Udah ya, Nik."

Eeeeh? Tunggu...

Trek. Tut. Tut. Tut.

Begitulah Kak Vion. Dia hanya mengucapkan hal-hal yang penting saja dan sama sekali tak ingin mengobrol panjang.

Aku merengut, memonyongkan bibirku dan berjalan menuju meja belajarku.

Di atas meja belajarku tertumpuk buku-buku pelajaranku: kamus bahasa Inggris, KBBI, matematika, fisika, kimia, biologi, kewarganegaraan, novel-novel dan sebuah globe kecil di letakan di atas sana sebagai penghias kecilnya. Ada kaktus kecil juga di sana. Kaktus adalah tanaman yang mudah sekali dirawat karena tidak terlalu butuh perhatian penuh. Oleh sebab itu aku suka merawatnya.

Kamarku tidak terlalu besar. Well, jika dibandingkan dengan kamar teman-temanku, kamarku cukup besar juga sih.

Tempat tidurku ada di tengah ruangan, dengan bagian kepalanya tertempel manis di dinding, berselimut putih, berkayu coklat. Jendela balkonku bertirai putih besar, lembut dan terbang perlahan setelah ditiup semilir angin. Di dekat tempat tidurku juga ada jendela besar—tidak sebesar jendela yang ada di balkon, tapi menghadap ke jendela tetangga yang baru pindah.

The Flower Boy Next DoorWhere stories live. Discover now