Debaran Tiga Puluh Dua: Revange

87.2K 4K 95
                                    

Laporan air mata yang banjir saat ini sudah membuat N3R0 mengalami penyusutan dengan begitu banyak tisu yang menggenang--dan semakin minusnya jumlah komen dan vote, tapi tidak sepenuhnya musnah. Malah, akan semakin parah.

Laporan langsung dari Penulis

=============================

Debaran Tiga Puluh Dua

Revange

Seminggu. Ya Tuhan. Aku nyaris gila selama seminggu ini. Tak ada kabar. Tak ada telepon. Tak ada surat. Tak ada email. Tak ada apapun.

Nero seakan menghilang ditelan Bumi.

Dan hal itu membuatku frustasi sehingga tak mampu menangis lagi karena air mataku sudah mengering. Kemana dia? Apa yang terjadi padanya? Bagaimana keadaannya sekarang? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia akan kembali? Aku tak tahan lagi! Aku bisa mati karena rindu jika seperti ini terus. Apalagi... apalagi setelah semua hal yang kudengar. Aku yakin bahwa Nero tidak baik-baik saja.

Bagaimana dia melewati harinya di sana?

155. Zoe Michelle – 286

156. Nero K Yudea – 0

Tak henti-hentinya aku melihat papan pengumuman peringkat nilai. Karena Nero tak mengikuti ujian, maka nilainya berada di bawah Zoe, hal yang tak mungkin pernah terjadi. Devon dan Vion sudah mulai cemas karena mereka juga tak mendapat kabar. Zoe bilang kalau Nero ada di Jerman dan dia pasti akan baik-baik saja.

Jerman? Aku tak tahu kalau Nero adalah orang Jerman. Selama ini kami tak pernah membicarakannya, dan aku diliputi rasa bersalah dan sedih karena tidak mengetahui ini. Jika dia pulang, aku berjanji akan mencari tahu segala hal mengenai dirinya.

Tapi... bagaimana jika dia tak pulang?

Pertanyaan itu menyakiti jantungku sendiri, menusuknya dengan tajam tepat ke paru-paruku sehingga tak mampu membuatku bernapas beberapa saat.

Bel berdering keras sekali sehingga membuatku sadar dan berjalan dengan langkah terseret menuju kelas. Aku duduk dengan hati gelisah, melihat kursi Nero dengan nanar. Kapan dia akan kembali? Ini sudah seminggu. Apakah dia ingin tinggal di sana? Hidup tanpa Nero tidak sama lagi seperti hidupku yang biasa. Aku merindukannya.

"Selamat pagi," suara Pak Alfon memenuhi kelas yang hening. Seperti biasa, dia membawa buku-buku tebal untuk mengajari kami mengenai topik pembelajaran baru. "Buka buku kalian. Apakah kalian sudah membaca bab hari ini? Jika belum maka—"

"Maaf, Pak saya terlambat."

Pak Alfon menoleh, begitu pula dengan kami. Mataku nyaris menggelinding keluar dari mataku begitu melihat Nero berdiri di depan pintu. Dasinya diikat berantakan dan rambutnya juga begitu. Napasnya terengah-engah dan keringat tampak berkilat-kilat di dahinya. Untuk sejenak dia terbengong di depan pintu.

"Nero," Pak Alfon menaikan alis. "Apa kau tahu jam berapa sekarang?"

"Erm," Nero menggaruk-garuk kepalanya.

"Kenapa kau terlambat?" tanya Pak Alfon dengan nada tenang.

"Pesawat delay sekitar dua jam dan demi Tuhan, Pak, macet sekali di Jakarta." Nero geleng-geleng kepala.

Pak Alfon menaikan alis dan beberapa anak tertawa kecil mendengar alasan Nero. "Baiklah. Kali ini aku akan membiarkanmu, tapi tak ada lain kali. Silakan duduk."

Nero memberikan cengirannya yang khas lalu masuk dan duduk di sampingku. "Hai, Niken," sapanya.

"Hai," kataku parau. Ya Tuhan, seminggu tak melihatnya Nero tampak semakin tampan. Wajahnya bersinar, begitu pula dengan matanya, tampak lebih berkilauan dan coklat. Bibirnya juga lebih merah muda dengan senyum lebar yang tak henti-hentinya hilang dari wajahnya.

The Flower Boy Next DoorWhere stories live. Discover now