Debaran Dua Puluh Sembilan: Culprit

97.4K 4.2K 187
                                    

Warning!
Membaca cerita ini dapat membuat Anda kecanduan, tertawa sendiri, dan dapat membuat para Pembaca kemungkinan besar, dikatai gila oleh orang-orang terdekat Anda. Penulis tidak bertanggung jawab terhadap segala tekanan mental dan bentuk ketagihan oleh virus N3R0, dan segeralah bertobat dan berobat ke Psikiater terdekat bila sudah akut, dan yang paling parah, kronis.

Apakah Pembaca yakin dengan segala bentuk virus yang akan menular?

Jika 'yes' silakan scroll down ke bawah.

Jika 'tidak',  harap tutup tab dan Penulis sarankan untuk membaca cerita lain.

Apakah Pembaca saat ini sendirian?

Jika 'yes' silakan scroll down ke bawah.

Jika 'tidak' well, apakah masih yakin untuk membaca cerita? Penulis menyerahkan segala keputusan pada Pembaca dengan resiko ditanggung sendiri, dan yakinlah, hindari ruang publik sebelum Pembaca dikatai gila.

Salam gila dari Penulis dan para aktor TFBND

MUUUAAAAAAAAAAHHAHAHAHAHAHAHAHAHAAAAAA

Anyway, di samping itu Zoe, cakep ya?

:D

======================================================

Debaran Dua Puluh Sembilan

Culprit

Aku ketakutan setengah mati. Dikunci di gudang dalam keadaan gelap gulita selama beberapa jam dengan semut yang mengerumuni benar-benar mengerikan. Ada orang gila yang mengunciku di tempat ini. Bodohnya aku yang percaya bahwa si psikopat gila itu akan memunculkan diri di tempat seperti ini. Harusnya aku tahu bisa sedikit lebih pintar dengan trik murahan ini. Tapi sayangnya tidak.

Kakiku disengat lagi. Semut-semut tidak tahu diri!

Memaki jengkel, aku menghentak-hentakan kaki ke lantai sambil mengusap-usap kaki dan tanganku yang sekarang mulai dirayapi semut. Dengan cepat aku menabrak lagi saat melangkah menjauh, menjatuhi kardus. Brengsek! Tiap kali aku melangkah, aku selalu menabrak dan jatuh sendiri.

"Nero."

Tanpa aku sadari air mata menggenang dan jatuh begitu saja. Semut-semut sialan itu kembali menggigit tanganku. Rasa gatal kembali memanas di tanganku. Gatal sekali!

Sinar rembulan merayap masuk dari celah-celah kecil ventilasi. Dan karena suaraku juga sudah habis, maka aku tak bisa lagi berteriak. Lagipula tidak berguna. Tak ada yang mendengar.

Tapi aku mengharapkan Nero datang. Aku ingin Nero yang datang.

Rasanya mustahil. Dia kan tak tahu kalau aku ada di sini. Memangnya Nero punya jaringan parabola luar biasa yang menghubungkan aku dengannya? Kami hanya punya ikatan hati. Yang tulus dan saling menghangatkan. Juga sangat mengerikan jika mengingat para fansnya.

Putus asa dengan para semut dan juga gatal-gatal yang semakin menjadi-jadi, aku naik ke atas lemari menggunakan pijakan dari papan-papan rapuh di ujung ruangan, membuatku jatuh dan kakiku keseleo. Rasa sakitnya menjalar begitu rupa. Tapi aku belum menyerah. Dengan kaki yang tidak sakit, aku memanjat ke atas lemari dengan susah payah.

Masih menggaruk-garuk geram kulitku dan mengutuki pelakunya, lalu sedih dengan kesendirianku, aku mencoba menenangkan diri. Aku akan baik-baik saja. Seseorang pasti menolongku. Tidak hari ini, mungkin saja besok.

The Flower Boy Next DoorWhere stories live. Discover now