Debaran Tiga Belas: Prince's Kiss

105K 4.6K 117
                                    

Oooops, sori agak telat upload-nya, lagi sibuk-sibuknya tidur. Nah, loh??? O.O. Huehehehehe, maaf ya, pembaca. Sebelumnya, jangan lupa dulu mengelik vote =================>

Di sini akan ada kejutan! Aaaaw, penulis sendiri tak menyangka akan menulis hal seperti ini!!!!

Gambar di sebelah: Theressa Illys

Selamat membaca ya. Semoga suka, jangan lupa komennya juga >.<

*Hug and Kiss*

=============================


Debaran Tiga Belas

Prince's Kiss

Sialan. Aku harus melaksanakan rencana sebelum Nero benar-benar masuk ke dalam kelasku. Aku tak mengerti kenapa dia bisa mendapatkan nilai sempurna sementara aku tidak. Kembali kupelototi soalku. Memang sih, aku menemukan beberapa kesalahan fatal dalam penjumlahan dan beberapa diantaranya juga aku salah memberikan lingkaran. Tapi bagaimana mungkin anak seperti Nero bisa sangat—sangat—teliti?

Dengan jengkel aku mengetuk-ketuk pensilku ke atas meja. Jika seperti ini terus, maka tak bisa dipungkiri lagi maka Nero akan benar-benar masuk ke kelasku. Bukan berarti aku kesal sih dia mengambil peringkatku. Aku kesal, memang. Tapi tidak sekesal yang dipikirkan teman-temanku karena aku tahu sendiri apa yang terjadi pada Nero. Nero kan tinggal di sebelah kamarku. Dia memang menghabiskan waktunya di kamar sepanjang siang hanya dengan membaca buku.

Aku jadi penasaran kenapa dia betah sekali membaca buku di kamarnya. Dia bahkan tak pernah keluar dari gerbang rumahnya jika sudah pulang sekolah. Yang mengherankan lagi, hal itu membuatku menyadari bahwa Nero tidak memiliki satu orang teman pun di komplek rumah ini. Aku bahkan ragu ada yang menyadari keberadaannya di rumah itu.

Terdengar suara tawa di luar. Dengan cepat aku melirik arloji tanganku. Pukul lima sore. Jadwal bermain Ageha dan Nero. Kalian lihat sendiri kan? Aku benar-benar tahu jadwalnya dengan baik.

"DAD!" Nero meraung dari luar.

Huh? Dad? Aku mengerutkan dahi. Itu berarti Ayahnya Nero ada di sini? Tanpa terduga, aku beranjak dari tempatku dan menuju balkon. Aku belum pernah bertemu dengan Ayah Nero. Itu karena Ayah Nero, kata Jennifer, ada di luar negeri. Itu berarti Ayahnya sudah kembali. Siapa namanya kemarin? Matt? Oh, ya, Matt.

Aku duduk, mengambil buku bacaanku dan melirik ke bawah.

Ada Nero bersama dengan Ageha. Di belakang mereka tampak seorang laki-laki, memiliki wajah yang nyaris mirip seperti Nero. Dia muda, tinggi, dan punya tawa yang menyenangkan. Laki-laki itu tak tampak memiliki seorang anak berusia enam belas tahun karena masih begitu energik, malah tampak seperti kakakknya Nero daripada Ayahnya.

Matt melempar bola baseball pada Nero. Nero menangkap dari ujung yang satunya, lalu memberikannya pada Ageha. Ageha melemparkannya kembali. Lemparan Ageha sering meleset. Untungnya, Matt jago berakting seolah-olah lemparan itu berasal dari seorang pemain professional.

"Hebat, Sayang! Lihat itu Nero, seperti itulah caranya melempar bola!"

Nero membalas dari tempatnya. "Lihat itu Ageha? Seperti itulah penangkap baseball yang payah!"

Matt terbahak, lalu melempar bola itu dengan kekuatan penuh. Nero menangkap dengan pas dari tempatnya.

"Hayooo, yang lagi jatuh cinta."

Aku terkejut mendengar suara rendah di belakangku, nyaris jatuh dari bangkuku andai saja tanganku tak dipegangi.

Abangku, Ray, tertawa sambil geleng-geleng kepala. "Kamu ngapain sih?" dia melongok ke bawah. "Hmmmm, dasar. Ada cowok cakep, lupa sama Abang sendiri."

The Flower Boy Next DoorWhere stories live. Discover now