Debaran Tiga Puluh Lima: Camping

96.5K 3.8K 197
                                    

Ups, Maaf telat

=============

Debaran Tiga Puluh Lima

Camping

Aku sudah menyiapkan seluruh peralatanku: tas, peralatan mandi, selimut, jeket, baju ganti, sepatu dan P3K. Sekarang semuanya siap. Kuselempangkan ranselku dan segera turun. Nero sudah menunggu di depan gerbang rumahnya, tampil tampan dengan kaos oblong berwarna abu-abu nyaman panjang dan celana katun sedengkul. Hari ini dia memakai sandal jepit. Sandal jepit!

Alisku menaik. "Nero, apa kau tak salah kostum?"

Nero melihat arah pandangku. "Memangnya kenapa? Ke sekolah tak boleh pakai sandal?"

"Tapi kan—" Aku tak tahu harus mengatakan apa, jadi aku menyerah. "Yuk."

Mungkin Nero cuma ingin tampil beda. Lain dari yang lain. Nero memang selalu lain dari yang lain, jadi aku tak bisa memaksanya memakai sepatu. Lagipula, siapa yang meminta sepatu wajib jadi barang bawaan? Kami berjalan beriringan, mengobrol soal sandal jepitnya—yang katanya lebih membuatnya nyaman jika harus berkeliaran di sekolah daripada menggunakan sepatu. Walau sering menggunakan sepatu, ternyata Nero lebih nyaman dengan tidak menggunakan alas kaki.

Kadang-kadang aku berpikir bahwa Nero memang tak bisa dikatakan orang kaya. Dia terlalu low profile. Buktinya dengan cuek dia hanya memakai sandal jepit, mengganti jam tangannya dengan yang lebih murah, kaos biasa, celana biasa, bahkan jaket biasa. Tak ada yang berlebihan. Dia benar-benar bisa berbaur dengan baik bersama rakyat jelata. Hanya saja, dengan tampangnya yang luar biasa tampan itu, tetap saja dia jauh berbeda.

"Sandal jepit?" Devon bertanya, menaikan alis dengan tak percaya begitu melihat penampilan Nero. Hari ini dia mengenakan kemeja biru nyaman dengan celana jeans panjang. Ranselnya ada di punggung. Di sebelahnya ada Zoe, mengenakan topi biru terbalik, berpakaian kasual nyaman: kaos, celana pendek dengan robekan dan tambalan di sana-sini. Great, sekarang aku bingung siapa yang bad boy sekarang.

"Aku bawa sepatu jika kau khawatir, Mother," kata Nero, memutar bola matanya dengan bosan.

Devon memilih tidak berkomentar, sepertiku, meski aku yakin ada banyak sekali yang akan dia protes mengenai penampilan Nero. Kak Vion sendiri mengenakan kaos oblong tanpa lengan, menunjukkan lengannya yang panjang dan berisi, juga mengenakan celana berkantong banyak berpotongan sedengkul. Sungguh, keempat pemuda ini benar-benar memiliki penampilan yang berbeda antara yang satu dengan yang lain.

"Nero, kau seperti pengemis," komentar Kak Vion.

"Kau seperti gangster," Nero membalas tak kalah kejam.

Kak Vion menggeleng. "Aku bukan gangster. Zoe lebih pantas."

"Dia badboy, kau gangster," kata Nero lagi.

"Oh," Kak Vion mengamati penampilan Zoe lagi. "Benar juga. Kupikir kau akan tampil seperti biasa, Zoe."

"Ini penampilan biasaku," kata Zoe tak peduli.

Kami menghabiskan waktu di perjalanan hanya untuk membahas siapa yang paling gangster di antara mereka, walau Nero tak memersalahkan siapa. Dia kan  pengemis, itu kata Nero, jadi dia tak peduli.

Begitu kami sampai di depan gerbang, sudah banyak siswa yang berkumpul. Semua mata memandang kami dengan keheranan, terutama Nero. Pak Alfon menaikan alis begitu melihat penampilan Nero, dan semakin menaikan alis melihat penampilan Zoe dan Kak Vion.

"Kalian bertiga sepertinya mulai bertukar kepribadian," komentarnya sambil geleng-geleng kepala. Dia membuka daftarnya, "Niken ada di kelompok empat. Zoe, kau bisa menghubungi Penny dan tanyakan dimana kelompokmu. Nero, kau bisa melapor pada Julian."

The Flower Boy Next DoorWhere stories live. Discover now