Debaran Dua Puluh Delapan: Bully

97.1K 4.2K 87
                                    

Gambar di sebelah: Vion


============================

Debaran Dua Puluh Delapan

Bully

Mood Nero sedang sangat buruk.

Begitu kembali, wajah Nero ditekuk dan dia tak membalas sapaan dari satu pun teman-temannya.

"Ada apa?" tanyaku.

Namun begitu matanya melihatku, ekspresi wajahnya berubah menjadi lebih baik. Dia tersenyum manis, menggenggam tanganku, meremasnya perlahan dan berkata, "Melihatmu aku jadi merasa baik-baik saja."

"Apa terjadi sesuatu?" Aku bertanya lagi.

"Devon hanya sedikit menyebalkan hari ini," katanya melihat lurus ke depan. "Tapi aku bisa mengatasinya. Kadang dia bisa sangat menjengkelkan."

Devon memang sering menjengkelkan tapi Devon tak akan pernah menyakiti Nero, jadi mustahil sekali Devon mampu melakukannya. Dengan kata lain, Nero berbohong. Apalagi melihat matanya yang menoleh ke sekitar dengan tatapan dingin yang siap membunuh orang membuatku yakin ada sesuatu yang terjadi.

Dan ini bukan mengenai Devon.

"Nero—"

"Sepulang sekolah kita akan menyelesaikan PR-mu di perpus, bagaimana menurutmu?" kata Nero. Intonasinya suaranya kembali lembut dan menenangkan. Apakah ini ilusi saja? Aku merasa dia tidak baik-baik saja.

Aku mengangguk kecil. "Ya. Perpustakaan juga ok."

Dia tersenyum tipis dan kembali menoleh ke arah lain. Aku gelisah setengah mati, aku merasa Nero seperti seekor singa betina yang mengincar mangsa dibalik rerumputan kering dan ketika dia menemukannya, dia akan menyergap, menusukkan giginya yang tajam ke leher sang korban. Semoga saja tidak.

Sepulang sekolah, aku meminta Nero menungguku di perpustakaan sementara aku harus mengambil buku-bukuku, menyiapkan beberapa hal di koridorku. Namun begitu aku membuka koridorku, sesuatu jatuh dari dalam, berwarna merah, menetes-netes dari dalam lokerku serentak dengan keluarnya seekor kucing hitam yang mengeong marah dan berlari keluar.

Mataku membulat kaget. Tenggorokanku kering.

Bukankah ini sudah sangat keterlaluan?

Jantungku berdegup-degup tak karuan. Dengan susah payah aku mencoba menenangkan diri sementara jemariku gemetar. Lokerku sekarang dalam keadaan basah kuyup, begitu pula dengan seragam olahragaku: berwarna merah seperti darah. Sebuah surat terselip di pintu lokerku.

Aku mengambil, membuka dengan takut dan semakin ketakutan melihat ancaman dari surat kaleng menyebalkan itu.

CEPAT PUTUS DENGAN NERO DAN JANGAN DEKATI DIA LAGI

Atau apa? Aku menantang dalam hati, melihat surat yang ditempeli dengan potongan koran itu. Surat seperti ini hanya untuk pengecut. Hal kecil seperti ini tak akan membuatku mundur begitu saja. Memangnya mereka siapa sampai harus mengatur-atur aku? Aku, Niken, si Koordinator Kedisplinan Siswa tak akan tinggal diam! Akan kuselidiki siapa pelakunya dan membalasnya setimpal dengan apa yang dia lakukan!

Kuremas surat itu dengan jengkel lalu melemparnya ke tong sampah.

Sekarang apa? Aku memandang lokerku yang berwarna merah, penuh coretan yang tak enak dibaca. Aku ingin sekali membanting lokerku keluar, tapi aku tak mungkin merusak fasilitas sekolah seperti yang dilakukan Nero.

Lagipula, Nero sedang menungguku di perpus.

"Niken."

Terdengar suara Zoe dan aku membanting pintu lokerku. Zoe mendekat, memandangku dengan keheranan.

The Flower Boy Next DoorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang