JBKS 25

42 5 0
                                    

Pagi cerah dengan udara yang sangat segar langsung menyeruak ke indera penciuman Kinan. Kabut tipis juga masih menyelimuti suasana pagi yang hening itu. Banyak masyarakat lokal yang sudah berangkat untuk bertani.

Kinan, Ardina, Gilang, dan Dio sedang jalan pagi menyusuri kebun teh yang terhampar luas. Namanya wanita, 80% dari jalan pagi itu adalah berfoto. Dio dan Gilang hanya bisa geleng-geleng kepala. Mau ditinggal, tapi kasihan. Kalau dibiarkan, bisa-bisa sampai villa bisa siang hari.

"Gilang, sini deh." Panggil Ardina.

Gilang menghampiri Ardina yang sedang memfoto Kinan. "Lo diri di samping Kinan deh. Pemandangan nya pas banget nih. Keren banget."

Kinan melotokan matanya ke Ardina, seakan-akan berkata maksud lo apaan?

Gilang tersenyum ke Ardina sembari mengacungkan jempol kearahnya.

Kini, Kinan dan Gilang berdiri bersanding. Ardina memotret dua sejoli yang-entah-kapan-bisa jadian. Kinan seperti ingin menyudahi ini, tapi Ardina bersikeras untuk terus memotret mereka.

Saat Kinan masih misah misuh dan mulai menjaga jarak dengan Gilang, tangan Gilang yang panjang itu langsung merangkul pundak Kinan dan menariknya mendekat.

Suara kamera Ardina seakan menjadi satu-satunya suara latar belakang yang ada di pikiran Kinan karena rasa terkejutnya bukan main.

Kinan menolah ke samping, dimana Gilang sedang merangkulnya. Laki-laki itu tersenyum ceria menghadap kamera. Lesung pipitnya sedikit terlihat

"Gue juga suka sama dia gak sih?" Batinnya tiba-tiba menghadirkan pertanyaan itu, yang membuat perasaannya kembali goyah. 

Selesainya, ia kembali menghadap kamera dan tersenyum. Pahit.

❤❤❤

Matahari sudah mulai menjauh dari timur, namun Kinan masih saja mengenakan jaket tebal meskipun yang lain sudah melepas jaketnya sejak pukul 8 tadi pagi. Ardina menyesap teh nya sambil melihat pemandangan di belakang hotel mereka. Ladang teh hijau yang membentang bagaikan permadani sangat menyejukkan perempuan kota yang setiap hari melihat hutan beton yang tinggi dan udara hitam yang dihirup dari hidungnya.

Disini, mereka bebas menghirup oksigen segar langsung dari alamnya. Sejenak, beban mereka sebagai mahasiswa lepas. Meskipun ini healing singkat, tapi lumayan bisa membuat mereka menghela nafas lega. 

"Lo sama pacar lo apa kabar?" tanya Kinan memecah keheningan

"Masih biasa aja. Lancar lancar aja sih." Ardina menatap Kinan, "kenapa?"

"Gilang nembak gue."

Angin sepoi-sepoi menyapu helai rambut Kinan hingga menutupi wajahnya. Ia kemudian mengaitkan ke belakang telinganya

Sontak Ardina menoleh dengan wajah terkejut. "Serius? Gilang? gue kira dia gak serius sama lo? Lo tau sendiri kan dia itu orang yang humble ke semua orang." 

"Gue juga gak yakin sama diri gue sendiri sih, Din. Kalau sama dia, gue nyaman. Tapi gue gak tau, ini rasa suka juga ke dia apa enggak? menurut lo gimana, Din?"

Ya. Itu hati Kinan, namun dia sendiri yang bingung dengan perasaan itu. Ardina disini yang meskipun tidak jauh beda sifatnya dengan Kinan, namun dari segi pengalaman percintaan, Ardina dapat menjadi andalan Kinan untuk sharing cerita. 

"Lo udah lama deket sama dia, jadi lumrah kalau lo berfikir itu perasaan yang sekadar lewat. Tapi, Nan. Dibanding gue, lo yang paling tau tentang Gilang. Lo yang paling paham tentang dia gimana, karena lo yang paling deket sama dia," Ardina kembali menatap lekat permadani hijau di depannya. Disana, anak-anak sedang berswafoto ria maupun hanya berkeliling kampung dan hanya menyisakan Ardina dan Kinan di villa. "tapi menurut gue sebagai orang yang sebatas kenal Gilang sebagai teman kuliah, gue rasa dia punya pure feeling sih, Nan."

Jangan Bilang Kita Sahabat (COMPLETED)Where stories live. Discover now