JBKS 5

210 14 1
                                    

Hari ini adalah presentasi Kinan. Sejak tadi ia membolak-balikkan kertas materi dan menghafal serta memahami setiap bagian yang dimasukkan di power point.

Ardina yang melihat kecemasan Kinan, hanya terkekeh geli dan melanjutkan makannya.

“Mukanya belum digosok ya, Mbak Kinan?”

Mendengar namanya, Kinan mendelik sebal. “Kenapa? Mau ngelamar jadi ART?”

Hampir saja Ardina menyemburkan kembali makanan yang ada di mulutnya kalau saja ia tidak bisa menahan kejutan yang keluar dari mulut teman sejak ospeknya itu. “Tenang aja sih. Pak Rahman gak sekejam itu ke mahasiswanya.”

“Enak ya kalo tinggal ngomong doang mah. Enak kalo temen sekelompok lo kayak si Nida, Tiara, itu sih gue bakal anteng-anteng aja! Lah ini? Otak gue doang yang harus kerja rodi.”

“Syukuri apa yang ada. Hidup adalah anugerah.” ucapan Ardina mengingatkan Kinan pada lirik lagu salah satu band ternama di Indonesia.

“Pak Rahman tuh ya kalo udah nge-shoot pertanyaan, langsung bikin skak mat. Gue takut kalo pertanyaan yang dia lontarin itu zonk, dan gue gak bisa jawab. Mati aja lo!”

Ardina meremas bungkus nasinya dan meneguk air hingga menyisakan setengah botol. “Kinan, lo itu gak sebodoh itu kali. Percaya deh sama gue. Apa artinya IP lo yang selalu diatas tiga koma lima setiap semester?”

Lengan Ardina digoncang-goncang tak karuan. “Dinaaa ... Lo ikut kelompok gue presentasi aja deh yaa...”

“Ngimpi!!” Ardina pergi dari hadapan Kinan yang masih mengerucutkan bibirnya.

Tak berapa lama kemudian, tubuh Kinan tersentak ke depan berbarengan dengan lehernya yang terasa berat. Satu lagi makhluk ciptaan Allah yang membuat mood Kinan semakin buruk di hari ini.

Sh--”

Eits ... Bahasa, please.” hampir saja mulut Kinan mengeluarkan kata yang tak sepantasnya diucapkan oleh orang terpelajar sepertinya.

“Lo ngapain sih, Lang?”

“Nemenin sobat gue yang lagi bete.”

“Justru karena ada lo, gue jadi tambah bete!”

Really? Wah ... Saya merasa tersanjung.” Kinan tak bisa mengelek untuk memutar bola matanya. Menggelikan sekali tingkah Gilang ini.

Matanya melirik tangan Gilang yang masih bersandar di pundaknya. “Ini tangan gak bisa nopang sendiri ya?” sindirnya.

Gilang cengengesan lalu segera melepas rangkulannya. “Sorry.”

Ardina datang tak lama kemudian sambil membawa plastik berisi beberapa risoles, lalu disodorkan tepat di depan wajah Kinan. Ternyata ia mengerti betul selera sahabatnya kalau sudah tidak tenang menjelang presentasi. Risoles adalah solusinya selain minuman matcha.

“Buat gue? Ah ... Makasih banget!” plastik di genggaman Ardina sudah berpindah tangan dengan sangat cepat. Kinan langsung melahapnya tanpa menawari kedua rekan di sampingnya

“Buat gue, Din?” tangan Gilang menadah pada Ardina. Ardina tidak merespon sama sekali. Justru ia langsung menatap ke depan. Padahal Gilang ada di sebelah kirinya.

Mahasiswa-mahasiswi yang duduk-duduk di depan kelas masuk sehingga menimbulkan suara kegaduhan. Mereka yang ada di dalam ruangan pun menerka-nerka dosen yang telah hadir.

Benar saja. Di paling ujung barisan, wajah tegas Pak Rahman sudah membuat muka mahasiswanya pias. Terutama Kinan yang hari ini maju presentasi.

Warna lipcream nude yang ia beli bersama Gilang kemarin lalu itu seakan tak berpengaruh, karena tampangnya saat ini sangat pucat.

Jangan Bilang Kita Sahabat (COMPLETED)Where stories live. Discover now