Part 28

52 4 0
                                    

Bendera kuning terpasang di depan rumah Kinan. Gilang sejak pagi sudah berada di sana,  mendengar isak tangis setiap orang terdekat yang hadir.

Ibu Kinan berpulang ke Yang Maha Kuasa. Padahal semalam, Gilang baru saja bertemu dengan beliau dan berpesan bahwa Gilang harus terus menjaga Kinan. Gilang tidak menyangka bahwa itu bukanlah pesan, namun itu adalah perintah karena beliau tak akan bisa lagi menjadi penjaga Kinan dan adiknya, Kinar. Kini, Kinan tidak memiliki siapapun selain adiknya. Ia tak lagi memiliki sesosok ibu yang kerap memeluknya dan mengelus rambutnya saat Kinan sedih atau merasa kalut dengan pikirannya. Kinan tak lagi memiliki sosok yang dapat memarahinya kalau bangun siang. 

Kini, Gilang memandang sedih Kinan yang sedang terduduk termenung di samping jenazah ibunya. Wajah ceria perempuan yang ia sayangi kini penuh dengan bekas air mata yang belum sepenuhnya kering. Perempuanku sesekali bisa tersenyum saat sanak saudaranya berdatangan untuk ikut berduka, ia pun tak lupa untuk berterimakasih karena telah membantu.

Gilang tidak hanya terpaku melihat Kinan yang masih terpukul atas kematian ibunya. Namun ia juga membantu menyambut para pelayat khusunya pelayat pria, dan juga membantu untuk mencarikan peralatan yang diperlukan untuk jenazah. Dalam hal ini, Gilang membantu tugas-tugas yang membutuhkan fisik. Ibu Gilang sudah datang melayat, beliau bertemu langsung dengan Kinan dan memeluknya sangat amat erat. Beliau menenangkan Kinan, mengelus punggung dan kepala Kinan, mengucapkan berbagai macam kata semangat agar Kinan dapat kembali bangkit dan tidak terlalu lama terpuruk dalam kesedihan. Kinan sangat menghargainya dan berterimakasih karena telah hadir dan ikut mendoakan almarhumah ibunda. Ibu Gilang juga berpesan untuk terus mendampingi Kinan sampai pemakaman selesai. Gilang mengangguk menyetujui. Bagaimanapun, dia memang harus menemani Kinan. 

Adik Kinan yaitu Kinar masih terus menangis tersedu, ia masih belum percaya kalau orang tua satu-satunya telah meninggalkan mereka berdua di dunia. Iya, kini Kinan dan Kinar menjadi anak yatim piatu. Mereka tak lagi bisa mendapatkan kasih sayang orang tua, karena malaikat surga lah yang sudah memeluk mereka berdua. Kinan hanya bisa mendekap sang adik, terus berusaha untuk menenangkannya. Hanya mereka lah yang kini dapat menguatkan satu sama lain. Gilang percaya, Ibu Kinan tersenyum dari atas sana melihat Kinan dan Kinar dapat saling menguatkan.

Di pemakaman, Gilang ikut membantu menurunkan jenazah ibu Kinan ke liang lahat. Bukan disuruh, melainkan hati Gilang yang langsung tergerak saat ditanya siapa yang ingin membantu mengebumikan jenazah. Prosesi pemakaman berjalan dengan khidmat. Ibu Kinan adalah sosok yang baik hati dan ramah pada siapapun, jadi banyak sekali pelayat yang berdatangan untuk mendoakan kepergian beliau, banyak orang yang juga ikut terpukul dengan kepergian mendadak beliau. Namun, takdir Tuhan adalah yang terbaik. Pasti ada rahasia kecil bahagia yang Tuhan siapkan bagi Kinan, Kinar, maupun sanak saudara lainnya yang ditinggalkan. 

Sepulangnya dari pemakaman, kondisi rumah Kinan menjadi sepi senyap. Semua orang pulang ke rumah masing-masing dan menyisakan Kinan, Kinar, Gilang, dan 3 orang sanak saudara Kinan yang datang dari Jawa Tengah.

"Udah makan, Lang?" Kinan bertanya lirih

Gilang mengangguk, meskipun nyatanya ia belum menyuap nasi, namun perutnya sudah merasa penuh karena kesedihan yang ia pendam. "Kamu makan dulu ya"

Kinan menggeleng. "Belum lapar," kemudian menoleh ke arah Kinar, "kamu makan dulu sana, tadi bude bawa nasi." begitupun dengan Kinan, sang adik pun juga tidak mau makan dan memilih masuk ke kamar.

Tangan Gilang secara reflek menuntun Kinan untuk duduk di sofa. Tubuh Kinan sudah sangat lemas, Gilang tahu itu. Tangan Kinan pun terasa sangat dingin. 

Kemudian, Gilang berjalan ke arah dapur dan mengambil nasi serta lauk. Lalu ia kembali ke ruang tamu dengan sepiring nasi dan segelas air. "makan yuk" Gilang menyendok nasi dan membawa nya ke mulut Kinan. Awalnya Kinan tidak menggubris sama sekali, Kinan seperti tidak ada tenaga untuk sekadar membuka mulutnya untuk memakan sesuatu. Tatapan matanya kosong, dan sedetik kemudian air mata kembali menetes. Lantas Gilang langsung menaruh kembali sendok yang berisi separuh nasi itu. Dengan punggung tangannya, Gilang menghapus air mata Kinan, namun bukannya berhenti air mata itu kembali menetes dengan deras. 

Jangan Bilang Kita Sahabat (COMPLETED)Where stories live. Discover now