JBKS 9.1

149 12 1
                                    

Semenjak Gilang dengan suka rela mengaku dirinya sebagai pacar Kinan, Ammar sudah tidak pernah lagi mengirimi chat ke Kinan. Sempat ada rasa sepi yang melanda hatinya, karena ia sudah terbiasa dengan kehadiran Ammar. Namun ini demi kebaikan hatinya dan juga demi keteguhan prinsipnya. Kinan takut kalau misalkan Ammar dan dia sering bertukar pesan, maka bisa saja rasa baper itu muncul.

Dan semenjak pernyataan Gilang itu juga, yang membuat Kinan bingung dengan sikapnya akhir-akhir ini. Mulai dari perhatiannya yang terasa berbeda seperti biasanya, ucapan-ucapannya yang ngena di hati Kinan sekaligus membuatnya menerka-nerka.

Kinan sudah menyandang status singlenya sejak lahir, jadi ia tidak mengerti dengan tiap perlakuan Gilang yang tidak biasa itu. Kalau saja Pak Rahman mengajarkan cara peka terhadap laki-laki, mungkin ia akan menobatkan laki-laki tersebut sebagai dosen terbaik sepanjang dirinya kuliah.

Gilang juga sepertinya bersikap biasa saja. Hanya Kinan yang repot-repot memusingkan sikap sahabatnya sejak duduk di bangku menengah pertama itu.

Ketukan pintu membuat Kinan harus beranjak dari kasurnya. Saat dibuka, terlihat sang ibu yang sudah menenteng tas kain berwarna merah.

"Mau kemana, Mah?" Tanyanya, heran.

Ibunya mengangkat tas tersebut. "Anterin ini ke rumah Gilang gih, Ras."

"Emang itu apa, Mah?"

"Kue kering satu toples. Ibu bikin banyak, jadi mending kasih Gilang aja setoples."

Kinan membulatkan bibirnya. Untungnya ia sudah memakai baju yang cukup sopan, jadi Kinan tak harus berganti baju terlebih dahulu sebelum pergi ke rumah Gilang yang tidak terlalu jauh itu. "Sini, Mah."

Saat tangannya sudah menenteng tas berisi setoples kue kering itu, Kinan menjalankan motor giginya. Untuk keseharian aktivitas yang tidak terlalu jauh, Kinan memang biasa menggunakan motor produksi negara sakura yang sudah butut ini.

Rumah Gilang yang bercat biru di hadapannya kini terlihat megah namun sepi. Pikirannya langsung berkata bila rumah itu sedang tidak ada penghuninya. Mengabaikan pikiran-pikiran yang bercokol di kepalanya, Kinan mengetuk pintu putih itu.

"Assalamualaikum"

Tiga kali Kinan mengetuk pintu sambil mengucap salam, namun tak kunjung ada orang yang membuka pintu. Sampai akhirnya di ketukan ke lima, pintu terbuka dan menampilkan sosok Gilang dengan tampilan yang acak-acakan.

"Lo baru bangun tidur?" Tanya Kinan.

"Enggak. Tapi dari tadi gue tiduran terus." Suaranya terdengar serak. Bukan suara Gilang seperti biasa. "ada apa, Nan?"

Kinan menyerahkan tas yang sejak tadi ia tenteng. "Buat Lo. Nyokap bikin kue kering."

Gilang mengambil bingkisan dari Kinan. Tanpa sengaja tangan mereka bersentuhan sehingga membuat Kinan ikut merasakan panas tubuh Gilang yang tidak normal.

"Lo lagi sakit ya?"

Namun Gilang menggeleng. "Cuma pilek doang." Mengabaikan jawaban Gilang, Kinan menempelkan punggung tangannya ke ceruk leher Gilang.

"Lo demam, Lang." Tukasnya lalu menyeret Gilang untuk duduk. "sore-sore gini lo demam, takutnya lo kena tipus, Lang."

Gilang hanya duduk lemas setelah meletakkan tas pemberian Ibu Kinan. "Gue sehat-sehat aja, Nan. Ini cuma pilek doang. Udah sana lo pulang aja mendingan." 

Kinan menggeleng. "Nyokap lo mana?"

"Kerja."

"Sekarang kan tanggal merah, Lang."

Jangan Bilang Kita Sahabat (COMPLETED)Onde histórias criam vida. Descubra agora