JBKS 4

235 15 1
                                    

Kinan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Kalau saja harinya dijadikan kartun, mungkin hari ini kepala Reina sudah digambarkan berwarna merah dengan asap yang keluar di lubang hidung dan telinganya.

Tugas yang datang bertubi-tubi sedang mencoba membunuh Kinan secara perlahan-lahan. Baru kemarin ia merampungkan makalah ekonomi kesehatan, kini perempuan itu harus kembali betah berlama-lama di depan laptop untuk mengerjakan mata kuliah gizi degeneratif yang harus dikumpulkan tiga hari lagi.

Bukannya Kinan mengeluh dengan betapa banyaknya tugas yang menghadang. Tapi sebab musababnya adalah dewi fortuna yang tidak memihaknya lagi untuk tugas yang kedua kalinya. Kinan--lagi-lagi--harus mendapatkan teman satu kelompok yang tidak mau bekerja sama. Tugasnya hanya ongkang-ongkang kaki dan ingin mencatut nama saja.

Kalau begitu terus caranya, bagaimana Kinan harus mensyukuri setiap tugas yang diberikan padanya. Yang ada, ia terus marah-marah tidak jelas kepada semua orang. Gilang salah satunya.

Kini Gilang datang berkunjung ke rumahnya. Awalnya ia ingin meminta Kinan untuk menemaninya membeli power bank. Tapi melihat Kinan yang tampilannya semrawut akibat banyak tugas, ia mengurungkan niat dan lebih memilih untuk menemani Kinan sambil menghabiskan stok camilan milik gadis itu.

Ghaak adhaa yhang phherlu ghuue bhantu kan?” suaranya terdengar tidak jelas akibat kunyahan mulutnya yang isinya penuh dengan keripik kentang.

Kinan melirik sinis Gilang. Ingin rasanya ia menendang Gilang hingga sahabatnya itu angkat kaki dari rumahnya. Kontribusi Gilang sama sekali tidak Kinan rasakan. Jangankan menawarkan bantuan, menyemangati dirinya pun tidak, apalagi membantu mengerjakan tugasnya. Kehadiran Gilang ke rumahnya justru hanya untuk meludeskan semua makanan milik Kinan.

“Bantu abisin makanan gue aja.” sindir Kinan.

Tak tahu malu, Gilang menyengir dan lanjut menghabiskan setoples penuh karena merasa sang tuan rumah sudah mengizinkan.

Kinan geram bukan main. Benaknya terlintas mengenai asbabun nuzul* Gilang. Apakah dia diciptakan karena stok kepekaan sedang habis? Karena Kinan pikir, Gilang sama sekali bukan orang yang peka meskipun kata-kata yang Kinan lontarkan bukan lagi sebuah kode yang harus ditafsirkan terlebih dahulu.

“Lang ... Bilangin dong sama si Endang, suruh ngerjain bagian dia. Kan udah gue bagi-bagiin tuh. Deadline ntar malem!”

Gilang menyatukan kedua alis hitam lebatnya, “Lah emang gue siapanya si Endang? Bilang lah sendiri. Lo kan sekelompok sama dia.”

“Ya dari tadi juga gue PC dia, tapi kagak dibales-bales! Di grup juga kagak dibaca sama dia. Makanya gue minta tolong sama lo. Kan lo cowok, pasti didengerin sama dia.”

“Teori darimana itu?”

“Teori Kinan Green**”

Gilang mencebikkan bibirnya, lalu melahap lagi beberapa keripik kentang dalam sekali masuk. “Ghak mhau ah.”

Toples keripik yang sedang dipeluk oleh Gilang, langsung Kinan rebut dengan paksa. “Kalo gak mau bantuin gue, lo mending minggat aja sana!” perintah Kinan, garang.

Akhirnya Gilang menyerah. Ia mengeluarkan ponsel tipisnya yang berwarna hitam dan menelpon Endang.

Halo?”

Tuh kan! Pasti kalau Gilang yang telpon, diangkat sama itu bocah gembul! Kata Kinan dalam hati.

“Woi, Bro!”

Aya naon, Lang?”

“Lo udah ngerjain tugas gizinya Bu Mirna?”

Gampang lah itu. Kelar gue ngumpul-ngumpul dah.”

Jangan Bilang Kita Sahabat (COMPLETED)Where stories live. Discover now