JBKS 3

290 19 1
                                    

“Lo gimana sih jadi ketua, Lang?” mantan ketua BEM*, organisasi tempat Gilang menjabat sedang berkelakar. Alisnya menukik tajam, tanda ia sangat marah.

“Maaf, Bang. Gue gak tau kalo tempat itu kurang layak di mata lo buat dijadiin tempat LKTF**.” Gilang masih mencoba sabar dengan tidak membantah yang aneh-aneh. Dia berusaha jujur.

“Ya kan makanya gue bilang, sebelum lo make decision, coba survey dulu tempatnya. Gila sih lo! Mana udah ngasih uang DP ke vila sana, lagi!”

Menetralkan suara, ia menghembuskan nafas. “Kenapa gue berani ambil keputusan, karena gue dapet tempat itu dari temen-temen eksternal lainnya yang udah pernah nyoba disana. Lagian budget kita juga tipis banget, Bang.”

Bangku yang diduduki Bang Ilham--begitu anak-anak organisasi fakultas menyebutnya--mundur dan mendecit nyaring, “Ini fakultas ternama, Lang! Fakultas Kesehatan yang dipandang mahal sama fakultas lain. Dan lo sebagai ketua harus junjung tinggi elektabilitas fakultas, jangan sampai kalah sama FK***!”

Gilang sudah menggelengkan kepalanya sejak tadi, memang semenjak kejadian 3 tahun lalu saat pemisahan diri program studi kesehatan masyarakat dari fakultas kedokteran dan menjadi fakultas sendiri, aroma saling unjuk diri terus dilakukan dan hal itu sudah seperti mendarah daging semenjak 3 kali berganti pengurusan. Gilang yang sangat tertekan mencoba untuk tidak terpancing emosi. Menurutnya, tempat elit atau tidak bukanlah faktor yang menentukan kompetensi dari mahasiswa yang mengikuti latihan kepemimpinan tingkat fakultas ini.

Dia harus mengubah mindset yang pasti ditentang oleh para ketua umum pendahulunya.

“Udah deh, Bang. Lo doain aja biar lancar. Lagian udah H-5 juga. Gak mungkin kan kalo kami harus muter-muter cari tempat lagi? Makan waktu!”

“Tapi kesalahan lo ini fatal banget. Gue gak mau fakultas kita dipandang remeh sama Bima!” Bima adalah ketua umum BEM FK.

Gilang tersenyum miring, “Lo mau kader berkualitas dengan tempat seadanya, atau tempat yang berkualitas dengan kader seadanya? Tinggal lo pilih, Bang? Kalo gue tentunya pilih menciptakan kader yang berkualitas meskipun tempatnya biasa aja. Dengan itu, fakultas kita bisa lebih terkenal dibanding FK.

“Untuk masalah tempat, emang salah. Gue dan BPH**** lainnya juga ngaku kok kalo itu salah banget. Apalagi kami gak survey tempat dulu--”

“Itu lo tau permasalahannya, Lang!” Bang Ilham memotong pembicaraan, Gilang mengangkat tangannya memberi tanda agar mantan ketua BEM yang sudah tidak memiliki urusan campur tangan terhadap organisasi yang dipimpinnya untuk berhenti bicara.

“Tapi ini masalah manajemen waktu, Bang. Kami gak perlu lagi buang waktu untuk survey tempat, disaat udah banyak rekomendasi dari temen-temen yang lain. Lagipula tempatnya gak memalukan banget kok. Bang Ilham bisa dateng di hari H nanti.”

“Standar gue untuk LKTF ini elit, Lang. Dan lo gak becus buat wujudin itu.”

Setelah mengeluarkan bentakannya, Bang Ilham langsung keluar ruang rapat lembaga mahasiswa yang terletak di lantai 2. Gilang terkekeh ringan dan menatap beberapa BPH yang memang ikut berdiskusi.

“Sabarin aja, Lang. Kata anak-anak Bang Ilham emang se-killer itu. Tahan banting aja lo sama dia.” Dio, yang menjabat sebagai ketua divisi SEGA***** mencoba memberi semangat.

Gilang mengibaskan tangannya. “Santai aja gue mah. Yaudah. Ini udah kelar kan? Bubarin aja. Wassalamu'alaikum.”

Semuanya serentak membalas salam, “Wa'alaikumussalaam...”

❤❤❤

Kinan menatap bosan dosen laki-laki yang ia taksir memiliki usia pertengahan 30 tahun. Ia akui kalau dosen itu pintar, tapi caranya menyampaikan materi sungguh membosankan. Ditambah lagi suaranya yang sangat lembut, membuatnya ingin tertidur karena merasa didongengkan.

Jangan Bilang Kita Sahabat (COMPLETED)Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz