3. The Crown Prince

1K 105 666
                                    

Budayakan FOLLOW sebelum membaca.

🏌🏻

"Daddy dengar apa yang terjadi di kantor hari ini. Bisa jelaskan?" cecar Vabian.

"Same old same old," kata Vigo bosan.

Vabian mendengus sinis. "Daddy kira kamu orang yang penuh kemajuan, bukan orang yang berjalan di tempat?"

Senyuman di wajah Vigo lenyap, digantikan oleh tatapan tajam. Ayahnya jelas mencari celah untuk merendahkannya.

"Aku bikin kemajuan," sahut Vigo tajam. "Kalau biasanya dalam satu hari aku bikin satu orang kehilangan pekerjaan, today I make it two."

Vabian menatap Vigo dengan emosi tertahan. Rahangnya mengeras. "Kamu tau bukan kemajuan seperti itu yang Daddy bicarakan, Vigo. Jadi, hentikan saja omong kosong ini dan bicara yang serius!"

Vigo mendengus. Jelas-jelas ayahnya yang cari masalah duluan.

"Mau sampai kapan kamu bertingkah semena-mena seperti ini? Pak Ferdi Hartanto itu orang lama. Dia setia di perusahaan dan...."

"Rekrut mereka kalau punya manfaat yang bisa digali dan dipergunakan. Kalau manfaat itu udah habis, apa lagi gunanya mereka?" sela Vigo. "Peras satu buah jeruk sampai menghasilkan sari yang bisa diminum. Kalau udah nggak ada isinya lagi buat diperas, apa Daddy akan lanjut makan jeruknya? Namanya bahkan bukan lagi jeruk, tapi ampas. Dan ampas itu tempatnya di tong sampah," kata Vigo dengan tajamnya.

Vabian mendelik dan nyaris menganga. Wajanya mulai memerah. "Kamu...."

"Dad minta aku bicara yang serius, kan? Aku lakuin. Tapi, aku juga minta Dad nggak bikin keributan. Itu ngerusak citraku," kata Vigo sinis.

Vabian tercengang. "Sombong sekali kamu, Vigo! Daddy nggak pernah mengajari kamu untuk bersikap seperti itu di kantor!"

Vigo nyaris terbahak. Mengajari? Wah, percaya diri sekali pria tua ini.

Vabian mengabaikan tatapan menghina Vigo dan melanjutkan, "Baik kalau Pak Ferdi nggak ada manfaatnya untukmu. Tapi, karyawan magang itu...."

"Dia masih magang, tapi udah bikin kesalahan," potong Vigo. "Aku nggak bisa kerja dengan orang yang nggak kompeten. Pecat mereka atau pecat aja aku."

"Omong kosong macam apa itu?" sergah Vabian.

Tentu saja Vabian tidak bisa memecat Vigo. Selain karena itu bukan wewenangnya, jelas-jelas sejak kecil dia memang ingin membentuk Vigo sebagai pewaris yang tepat untuk memimpin perusahaan.

"Dan citra macam apa yang kamu maksud? Citramu nggak akan pernah bagus selama kamu biarkan gadis-gadis yang berbeda bergelantungan di lenganmu setiap minggu," kata Vabian sambil melirik penuh kejijikan pada gadis-gadis dalam pelukan Vigo yang hanya memandangnya tak mengerti.

"Like you were so different, Dad," kata Vigo remeh. Dia menatap Vabian penuh makna. "You're the one I see every time I'm doing this."

Vabian mendelik tak percaya. Darah bahkan sudah memompa sampai ke ubun-ubunnya. "Anak kurang ajar kamu, Vigo," kata Vabian dengan suara tertahan.

Vigo menggariskan senyum yang bahkan terlalu sinis untuk bisa disebut sebagai senyuman. "I know," bisiknya, kemudian dia menarik gadis-gadisnya untuk berjalan.

Tepat ketika Vigo berdiri sejajar dengan Vabian yang masih tampak shock di tempatnya setelah mendengar ucapan Vigo, Vigo menoleh pada ayahnya itu. "Oh, come on, Dad, don't be so surprised. You created me, didn't you?"

Billionaire's CaddyOnde histórias criam vida. Descubra agora