20. Leadership

356 63 155
                                    

Budayakan FOLLOW sebelum membaca.

🏌🏻

Ingatkan Fezy bahwa Vigo tidak asal bicara. Bahwa meski ucapannya terdengar seperti lelucon, cowok itu tidak pernah bercanda. Dia pasti sudah pikirkan sebelum bicara.

"Kamu tau aku nggak punya uang, kan? Ini Aussie lagi. Gajiku bertahun-tahun pun nggak bisa bikin aku kuliah di luar negeri. Yang ada, habis buat tagihan listrik, makan, dan kebutuhan harian lainnya," kata Fezy.

"I never asked you for money, didn't I?"

Fezy terhenyak.

Saat melirik Fezy yang tampak berpikir keras, Vigo lanjut menjelaskan, "Gimanapun gue bakal keluar duit ngurus degree certificate lo. Nggak semua universitas ternama mau ngeluarin. Mungkin gue harus bayar ekstra. Yang lo dapat cuma ijazah, bukan ilmu. Jadi, kalo gimanapun bayar, kenapa nggak sekalian aja lo kuliah? Lumayan lo dapat ilmu dan gelar yang bukan sekadar gelar, kan?"

Fezy mengernyit. "Tapi, untuk apa degree ceritificate, Mister? Kalaupun sekarang kuliah, aku baru tamat sekitar tiga tahun lagi paling cepet. Kita nggak bakal sandiwara sampe selama itu juga."

Vigo diam saja. Maunya memang begitu. Tapi, Vigo harus selalu berjaga-jaga untuk kemungkinan terburuk yang sudah harus dia pertimbangkan dari jauh-jauh hari.

Mary... bisa menjadi sangat menyulitkan. Vigo tidak boleh lagi lengah dan meremehkan Mary sehingga menciptakan batu sandungan pada langkahnya di depan nanti.

Vigo visioner. Dia terbiasa berpikir malampaui waktu yang membuatnya tak pernah gagal berinvestasi dan menyusun rencana bisnis yang menguntungkan di masa depan. Mereka bilang prediksinya jitu. Tapi, bagi Vigo, ini hanya soal mengukur langkah untuk estimasi waktu tertentu. Membaca waktu.

"Udahlah, Mister, nggak usah buang-buang uang. Yang kamu jelasin tadi juga udah cukup masuk akal, kok. Nggak perlu direalisasikan," tutur Fezy. "Kalo kamu khawatir aku nggak ngerti pas ditanya-tanyain soal kuliah, nanti aku belajar, deh. Aku cari tau juga soal perkuliahan lewat internet nanti."

Vigo melengos. Setibanya di dekat mobil, dia memutar tubuh dan bersandar di pintu depan mobil. Dia menoleh pada Fezy sambil bersedekap. "You're not so clever as I thought, aren't you?"

Fezy yang baru saja akan membuka pintu penumpang di belakang seketika berhenti. Dia mundur selangkah agar bisa menatap Vigo. "Apa?"

"Most people bakal manfaatin itu," kata Vigo. "You know, I pay my driver an extension class, juga salah satu nanny yang ngerawat gue dari kecil, gue biayain dia kuliah di jurusan yang dia mau. Dia nggak semuda itu lagi, tapi dia semangat nempuh pendidikan tinggi. She gladly took the chance."

Vigo menengadah sebentar. "Anak ART gue yang biasa ikut bersih-bersih di kebun itu pinter sekolahnya, tapi nggak punya biaya buat lanjut kuliah. Gue kuliahin. Sure, they don't think they need education. Bisa makan aja mereka udah bersyukur. Asal udah tamat SMA, mereka pikir udah cukup. Tapi, menurut gue, why hold on to self-development?"

Vigo menoleh pada Fezy. "We humans never stop learning. Nambahin value dan ngeraih more achievements itu penting. Gue rasa orang kecil juga berhak ngubah nasib. Yang mereka butuh cuma dibukain jalan buat itu, so I did. Untuk mereka yang kerjanya bagus dan gue liat punya potensi, gue nggak keberatan jadi perantara mereka buat sukses. Yang gue mau, when they stop working with me, they have to be better in finance and many aspects of their life. Kelar dari gue, minimal mereka bisa kerja kantoranlah."

Wah. Mulut Fezy sampai terbuka mendengar itu.

Orang di depannya ini adalah orang yang sama dengan yang para pekerja bilang kejam dan tidak menoleransi kesalahan, bukan? Ini yang katanya pembunuh berantai dalam bisnis? Yang ditakuti perusahaan-perusahaan pesaingnya? Dia bisa sedermawan ini?

Billionaire's CaddyWhere stories live. Discover now