14. mimpi buruk

25 8 0
                                    

Diskriminasi itu semakin parah seiring berjalannya waktu, sampai-sampai nenek di lantai dasar menolak untuk ku bantu menyebrang jalan di depan apartemen ku.

"Jangan sentuh aku, kau kotor" desis nenek itu sangat dalam membuat gigiku bergemeletuk keras.

Semua tuduhan jahat itu mengarah padaku, padahal mereka tidak tau apa-apa.

Aku juga mulai diancam ibu jika pulang lewat dari jam sembilan.

Namun, aku harus tetap bersikap seperti biasanya pada Hoseok, berusaha tidak menunjukkan perubahan sedikit pun, walau nyatanya sangat sulit.

Karna aku masih sangat mencintai Hoseok. Namun hatiku mulai ragu, karna terus disakiti oleh dunia ku.

Hatiku memang butuh cinta, seperti hal nya mencintai Hoseok, namun semua cinta itu seakan tak mampu manambal luka yang ditorehkan banyak orang untukku.

Hari ini, aku berangkat kerja seperti biasanya.

Saat sampai, menaruh barang bawaan ku, berganti seragam kerja, lalu menyapa pelanggan-pelanggan.

Namun ada beberapa hal yang tidak terjadi seperti biasanya.

Sapaan dari rekan-rekan ku.

Tidak ada.

Senyuman ramah dari kepala karyawan setelah aku memberi salam.

Tidak ada.

Ajakan untuk makan siang dari rekan-rekan ku.

Tidak ada.

Aku merasa dunia ku hilang setengah, aku merasa orang-orang di sekelilingku bertambah habis, aku merasa kosong hanya bisa tersenyum sendirian.

Hari ini, Hoseok tidak datang, pasti ia merasa tidak percaya diri dengan tubuhnya hari ini. Aku benci saat Hoseok seperti ini, Hoseok sulit sekali di ubah.

Padahal aku membutuhkan kehadiran Hoseok di banyak kesempatan agar aku merasa tidak kesepian, namun Hoseok hanya peduli pada penampilannya.

Jadi aku sengaja tidak menelfon Hoseok, atau mengirim pesan untuk sekedar menyapanya, aku marah pada Hoseok.

Namun ternyata Hoseok cukup peka, ia menelfon ku saat jam pulang, saat aku sedang berada di bis.

"Hmm.. bagaimana kabar mu?" Suara Hoseok ragu-ragu menyapa telingaku yang mendingin karna udara malam.

"Baik"

"Apa ada masalah?, suara mu terdengar tidak baik-baik saja"

"Tidak apa-apa"

"Maaf aku tidak menemui mu hari ini, aku ma-"

"Terserah" aku lelah.

"Changi-ah,, jangan marah, aku akan datang ke apartemen mu nanti, aku janji"

"Tidak usah"

Hoseok terdiam cukup lama, hanya suara nafasnya yang dapat ku dengar.

"sudah ya" ucapku datar lalu memutus kan sambungan telepon, ini pertama kalinya kami mengakhiri sambungan telepon dengan perasaan buruk.

Aku menutup mata ku lalu bersandar pada kursi bis yang entah kenapa terasa lebih nyaman dari pada rumah.

Aku lelah...

Tapi, aku tidak ingin menyerah.

Saat sampai di depan pintu rumah, aku menghela nafas dalam lalu melangkah masuk.

Berusaha menyumbat telinga dari omelan-omelan ibu yang terdengar sama setiap malam.

Malam itu aku tertidur dengan bantal yang basah.

Aku bermimpi, aku tau ini mimpi.

Aku melihat seorang gadis kecil yang menangis, ia duduk sendirian di ayunan.

Padahal...

Padahal ada banyak anak yang bermain di perosotan, jungkat-jungkit, besi panjat dan mangkok putar di sekeliling anak itu.

Dada ku serasa di remas, saat wajah gadis itu terangkat, menatap ke arah ku, matanya merah, juga hidungnya, poninya merantakan karna ia terus mengucek matanya.

Aku menghampiri gadis kecil itu, dengan air mata menetes, aku memeluk erat tubuh kurus itu, karna.. karna gadis kecil itu adalah aku.

Iya.

Gadis kecil itu adalah aku saat berumur enam tahun.

Sejak kecil aku di bully karna punya kakak yang mengidap autis.

Tidak ada yang mau bermain dengan kami kecuali sepupu laki-laki ku, itu juga kami hanya bertemu saat akhir pekan.

Dan saat kakak ku meninggal karna step, aku menjadi sendirian, aku sangat kesepian, tetap tidak ada yang mau bermain dengan ku, sehingga aku akan bermain ayunan setiap hari sambil membayangkan kakak ku yang juga mengayunkan kakinya di samping ku.

Aku tidak ingin seperti itu lagi, menjadi kesepian lagi.

Lama untukku bisa bergaul dengan masyarakat, untuk akrab bersama tetangga, untuk sering tersenyum ke orang yang aku lewati.

Butuh waktu lama..

"Sejeong-ah" aku tersentak, lalu melepaskan pelukan pada diriku yang umur enam tahun.

Namun aku yang kupeluk berubah menjadi Hoseok.

Hoseok dengan wajah yang pertama kali ku temui.

Ia tidak tersenyum, tidak marah, tidak sedih, wajah nya sangat datar seolah-olah kaku seperti batu.

Aku terdiam, menatap matanya yang sangat kosong.

"Pergilah jika kau sakit" suara itu terdengar dari arah belakang ku, aku sontak menoleh namun tak ada siapa-siapa. Taman bermain ini tiba-tiba sepi, tidak ada orang.

Dan saat aku kembali meluruskan pandangan ke depan, Hoseok hilang.

Aku sendirian.

Aku tau ini mimpi, sekali lagi aku tau ini mimpi.

Tapi menghilangnya Hoseok dari hadapanku sangat membuatku takut, aku takut ia akan benar-benar pergi dari hidupku.

Tangisanku pecah, dadaku sangat sakit, aku tak kuat menahan teriakan ku.

"AKU TAK PEDULI SEMUA ORANG PERGI!! TAPI JANGAN TINGGALKAN AKU HOSEOK-AAH!!! KU MOHON!!"

!!

Aku terbangun dengan nafas memburu.

Keringat membasahi seluruh tubuhku, aku melirik ke arah jam dinding.

Jam enam pagi.

Aku beranjak ke kamar mandi dan mengompres mataku yang bengkak.

Mimpi tadi masih terbayang-bayang, rasa takut ku belum hilang sepenuhnya.

Aku merasa sangat bersalah pada Hoseok karna aku marah kemarin. Jadi aku berniat menghubungi Hoseok sekarang tapi.. ponselku tak ada di meja nakas.

Aku mulai resah mencari ponsel ku, namun tak ada di segala penjuru kamar, jadi aku berniat mencari di luar kamar namun tubuhku langsung membeku saat melihat orangtuaku yang  terduduk di ruangan tengah.

Ibuku menangis sambil tertunduk, dan ayah.. ayah terus saja memandangi benda ditangannya dengan raut wajah tidak terbaca.

Sialnya, benda di tangan ayah adalah ponselku.

TBC.
Sorry for typo

No Physical (BTS Fan Fiction) #TAMATWhere stories live. Discover now