Bab 8

862 171 60
                                    

Bab 8


Pulang dari jalan dengan “temannya”, Resti membawakan sang kakak sebungkus cilok bakso ukuran besar.

“Mbak, ini ciloknya enak banget, loh. Jualannya sore sampai malam. Terus mas-mas yang jualan ganteng, ada tiga apa empat orang. Resti tuh kayak pernah lihat salah satunya, tapi lupa di mana.”

Hanya mendengarkan sekilas, Anggrek memakan satu cilok. Matanya membulat. “Enak banget, Res! Beli di mana?”

“Tuh, bener kan dugaan Resti, pasti Mbak Anggi suka. Kiosnya di kompleks depan.” Resti tersenyum bangga.

“Mbak mau ke sana,” ujar Anggrek setelah menghabiskan 7 cilok bakso dengan bumbu kacang super lezat pemberian adiknya hanya dalam waktu singkat.

Resti melongo. “Hah? Sekarang, Mbak? Nggak besok aja?”

“Kamu cuma beli sebungkus, kurang ini.” Anggrek melompat turun dari kasurnya. Seraya memakai jaket untuk menutupi piamanya, Anggrek membuka aplikasi ojek online.

“Mau ke sana sama Mas Daniel?”

Anggrek menggeleng. “Ngapain sama Om Daniel?”

Resti mengikuti kakaknya menuruni tangga. “Mbak, besok mau lari pagi, loh. Sebungkus cilok aja udah bikin gemu---” Resti langsung menghentikan kata-katanya sebelum terlambat.

Anggrek menatap Resti dan mengembuskan napas, tetapi tidak menyurutkan langkahnya. Tidak menunggu lama, Anggrek sudah menaiki ojek pesanannya menuju jajaran kios di kompleks depan yang biasanya buka sampai malam.

Menemukan sebuah kios baru dengan dinding bambu, Anggrek melangkah sangat antusias menyambut aroma cilok yang begitu menggoda. Biasanya saat Anggrek berangkat atau pulang sekolah, kios itu kosong, tapi sekarang ada penghuninya dengan nyala lampu terang.

“Mas, beli 15 ya ciloknya.”

“Bole... h.” Lelaki itu dan Anggrek saling bertatapan. Mulutnya membuka seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi kemudian terdiam.

Anggrek juga diam saja. Dia lagi, dia lagi, batinnya. Anggrek mengerjap. Tunggu, jadi si cowok pengendara sepeda, motor, dan mobil ini... jualan cilok?

“Apa lihat-lihat? Belum pernah ketemu cowok ganteng jualan cilok, heh?” tanya si Pemarah dengan ketus.

Seorang lelaki sebaya si Pemarah, memukul kepalanya. “Gathan, lo mau bikin usaha kita bangkrut? Sama pembeli jangan galak-galak. Maaf ya Mbak, temen saya ini emang agak kurang ramah, tapi aslinya baik, kok. Mbak jadi beli, kan? Lima belas cilok?”

Anggrek berdeham. Entah kenapa dia jadi merasa iba kepada si lelaki pemarah. “Ehm, tambah deh Mas jadi totalnya dua puluh, ya.”

“Baik, Mbak,” jawab si lelaki ramah dan murah senyum itu. “Pakai saus? Sambal?”

“Pakai semua, tapi dipisah, ya.”

Lelaki bernama Gathan menatap Anggrek dengan sorot tajam sambil memasukkan cilok ke plastik bening. “Pantas saja gendut gitu, makannya nggak kira-kira,” gumamnya sangat pelan, tapi Anggrek masih dapat mendengarnya. Membuat Anggrek ingin melemparkan cilok-cilok panas itu ke wajahnya, tetapi cilok-cilok itu lebih berharga, dan nantinya mubazir. Jadi Anggrek menahan diri.

“Anggi, kenapa malam-malam pergi sendiri?” tanya Daniel yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Anggrek.

“Loh, Om, kok di sini?”

“Resti bilang kamu pergi beli cilok ke sini. Ya udah aku susul aja.”

“Aku kan bukan anak kecil lagi.”

My Innocent Fat Girl by EmeraldWhere stories live. Discover now