1. Sebuah Amanat

393 50 14
                                    

1980

Alunan gamelan terdengar hingga beberapa meter jauhnya. Kemudian, sang dalang mulai memperagakan wayang kulitnya di bawah blencong¹ yang memancarkan kilauan klasik. Para niyaga² menyimak kisah yang diutarakan dalang. Niskala, seorang putri sekaligus waranggana³ sedang bercermin, memperbaiki kondenya yang melorot.

Tembang Gugur Gunung tak lama kemudian dialunkannya bersama gamelan yang ditabuh para niyaga dengan penuh semangat dan penghayatan. Karawitan dan pakeliran di Sanggar Kedaton itu terus berlanjut hingga matahari mengecup ibu pertiwi.

"Suaramu memang bisa membuai," ucap Tarangga Narapraja, sang dalang yang tiga tahun lagi mencapai kepala tiga.

"Membuaimu untuk muntah, bukan?" sahut Raden Ayu Kaniraras Niskala Acalapati, putri keraton sekaligus sinden yang baru menginjak usia dua puluh.

Mereka berdua tergelak bersama, sebelum seorang abdi dalem menggiring Niskala untuk kembali ke keraton. Tarangga menatap kepergian Niskala dengan sendu. Ia tahu apa yang dirasakan gadis keraton dalam pengekangan adat itu.

"Saya masih ingin di luar!" seru Niskala, berujung sia-sia.

💮

"Tarangga! Kamu ditawari jadi pembimbing karawitan di Desa Dhadhapan. Bagaimana?" Salah seorang temannya, Manggala berkata dengan menggebu-gebu.

"Boleh."

"Tapi bagaimana dengan sanggar? Kamu pun harus mengajar di sekolah, 'kan? Apa ya bisa membagi waktu?"

"Bisa. Lagi pula, budaya Jawa sudah menempel di hatiku. Aku dengan senang hati melakukan kegiatan yang kucintai."

Tarangga hanyalah pemuda biasa yang memiliki jiwa seni secara turun-temurun. Suwargi⁴ ayahnya pun seorang dalang yang memiliki sinden gawan⁵, yaitu ibu Tarangga. Hidup mereka tercukupi berkat profesi dalang yang menjadi pintu berkah dan rezeki bagi keluarga itu. Apalagi kini, pekerjaan Tarangga sebagai dalang dan guru karawitan di berbagai tempat cukup menjanjikan.

Sembari menatap kepulan kopi yang masih panas di hadapannya, Tarangga melamun. Pikirannya dipenuhi sosok gemulai Kaniraras Niskala Acalapati dengan suara emasnya. Perempuan mungil bersurau panjang nan legam itu entah memakai susuk apa sampai membuatnya tampak sempurna di mata Tarangga.

"Rangga, melamuni Niskala lagi, hm?" tanya Manggala, duduk di hadapan Tarangga. Meja dengan taplak putih polos menjadi pembatas keduanya.

"Suaranya terngiang-ngiang di kepalaku," balas Tarangga, kemudian menghela napas lelah.

"Sadar, kalian itu tidak bisa bersatu. Sudah jelas, wong Niskala saja Hindu, kamunya Islam." Kebenaran yang diutarakan Manggala berhasil menohok Tarangga hingga pemuda jangkung berbahu lebar itu berlalu ke kamarnya. Manggala membiarkan tanpa merasa bersalah. Ia hanya mencoba menyadarkan Tarangga supaya sahabatnya itu tidak terlalu jauh untuk menyiksa hatinya sendiri.

Tarangga tercenung menatap lampu temaram di atasnya. Berbaring di kasur kapuk yang jauh dari empuk, pikiran Tarangga mulai melanglang buana ke bangsal karawitan yang lebih sering disebut sanggar, di mana duduklah Niskala dengan keayuan dan suara emas yang memesona.

"Niskala, betapa banyaknya perbedaan antara kita," lirih Tarangga.

Usianya sudah matang, ibunya sudah ingin menimang cucu. Hanya saja, pujaan hatinya hanya terpaku pada Niskala, sang putri keraton yang mustahil ia jangkau.

Parasnya ayu, budinya luhur, sungguh menjadi idaman sang Narapraja yang perkasa itu. Namun, gadis itu terikat dengan adat yang masih kental. Sudah pasti, orang tua Niskala tidak menerima menantu yang bukan bangsawan, apalagi mereka berbeda keyakinan.

💮

"Mas Tarangga jadi tambah sibuk. Jaga kesehatan, ya," pesan Niskala setelah Tarangga menceritakan pekerjaannya yang bertambah.

Mendengarnya, hati Tarangga berbunga-bunga. Namun, kalimat Manggala kemarin yang mengatakan Tarangga dan Niskala berbeda keyakinan membuat hatinya kembali sadar posisi.

"Mas Tarangga baik-baik saja?" Tarangga segera memasang wajah semringahnya kemudian mengajak semua niyaga untuk menabuh gamelan masing-masing.

Kali ini Tarangga tidak memainkan wayang dan hanya menabuh kendang. Sesekali ia mencuri-curi pandang kepada gadis Acalapati yang selalu tampak berseri. Tarangga mulai berkaca-kaca, hatinya teriris, konsentrasinya terbagi. Ia menjadi lemah semenjak mencintai Niskala.

"Rangga! Suwuk⁶-nya terlambat!" Salah seorang niyaga berseru mengingatkan. Karawitan berhenti karena kesalahan pengendang.

"Tarangga, kamu sedang tidak enak badan, ya?" Manggala bertanya khawatir. Tidak biasanya Tarangga kehilangan fokus dan matanya berair seperti itu.

"Tidak apa."

Manggala tahu sahabatnya itu berkilah. Manggala pun akhirnya tahu, hati Tarangga mencelus tatkala insaf siapa dirinya dibandingkan Niskala Acalapati. Manggala paham betul sorot netra bening Tarangga.

💮

Kesialan menghampirinya. Pemuda bagus itu mengepalkan tangan kuat-kuat kemudian menghela napas. Biyungnya merintih kesakitan di dalam bilik bersama tabib. Di saat seperti itu, masih sempat pula pikiran Tarangga melakonkan Niskala. Seharusnya pikirannya itu berpusat pada Gusti Allah, memohon agar biyungnya itu segera disembuhkan. Tabib keluar, menyeret Tarangga untuk menemui biyung terkasihnya. Wanita rapuh itu mandi peluh serta bibir pucat. Ia melirik putra semata wayangnya, kemudian menggenggam lemah tangan besar itu.

"Gus, sebelum Biyung mangkat, ingin biyungmu ini diberi kepastian akan siapa menantu," ucapnya dengan gemetar.

Tarangga membisu, merangkai kata di kepala supaya biyungnya mengerti. Namun, percuma. Biyung hanya suka pada perempuan biasa dari kalangan rendah. Karena menurutnya, perempuan seperti itu bisa mengurus rumah tangga setiap waktu dan sepenuh hati. Biyung tidak menginginkan Niskala, si gadis keraton. Biyung hanya akan malu memiliki putra tak tahu diri sepertinya.

"Maaf, Biyung. Rangga belum mempunyai belahan hati."

"Pinanglah Siwi. Kalian sudah saling mengenal sejak kecil. Siwi pasti piawai mengurus rumah tangga."

Tarangga kian mematung. Siwi Suryandari adalah sahabat masa kecilnya. Gadis pemalu yang selalu merepotkan.

"Tapi Siwi masih kerabat ki-Biyung!"

Tabib masuk mendengar teriakan itu. Memeriksa denyut Biyung kemudian menatap Tarangga dengan penuh duka cita. Biyung terkasihnya telah pergi meninggalkan wasiat yang harus dipenuhi. Menyusul Ayahanda yang telah terlebih dahulu pergi menghadap Sang Pangeran.

Pemuda itu meratap, menampakkan sisi lemahnya di depan Tabib. Permintaan terakhir Sang Biyung sukar dilaksanakan. Satu-satunya cinta di hatinya hanya untuk Niskala si gadis keraton. Bukan Siwi, sahabat sekaligus kerabatnya.

Mungkin untuk kali ini saja, kuutamakan akal sehat. Menikahi Siwi lebih mungkin terlaksana dibanding menanti Niskala yang terjerat oleh kasta.
_______

¹ Lampu minyak yang dipasang di belakang dalang, berguna untuk penerangan dalam pertunjukan wayang.

² Penabuh gamelan.

³ Sinden.

⁴ Almarhum.

⁵ Sinden tetap.

⁶ Berakhirnya penyajian gending.

Follow ig : @orenertaja

WikramaWhere stories live. Discover now