15. Dergama

69 23 2
                                    

Tarangga mengobrak-abrik segala sesuatu yang ada di dekatnya, celangak-celinguk mencari kemeja batiknya yang terdapat hadiah istimewa dari sang pujaan hati.

"Mencari pusaka kantil, Mas?" Senyuman sinis Siwi tersungging.

"Di mana kamu membuangnya?"

Siwi menyodorkan rangkaian serupa gelang dari kantil, lengkap dengan tulisan istimewanya.

"Kenapa kamu tidak membuangnya?" tanya Tarangga dengan wajah pucat entah kenapa.

"Tidak ada alasannya, Mas. Itu kan milik Kangmas. Omong-omong, itu tulisan apa?" Siwi pura-pura buta aksara Jawa.

"Oh, ini artinya Tarangga. Semua anggota di sanggar diberi benda ini," dusta Tarangga.

💮

Hari berganti, Senin telah tiba, membuat semangat Tarangga kian menjadi. Gerak-geriknya mudah terbaca. Senyumnya kentara sekali bahwa ia sedang kesengsem.

Siwi berlagak tak tahu apa-apa. Membiarkan suaminya berlalu di atas ontel dengan raut semringah yang tak biasa. Sampai lewat tengah hari, ia hanya duduk di kursi rotan yang teronggok di teras sambil menyulam. Kadang kala ia membelai-belai kucing atau ayam jagonya yang kebetulan lewat.

Orang yang melihat pasti menyapanya. Keramahan warga disebabkan karena Siwi adalah anak pembatik yang dermawan. Siwi pun tergolong gadis yang tidak kakean polah atau banyak tingkah.

Pohon jamblang dan rambutan berdaun rimbun, melindungi rumah sederhana itu dari terik matahari. Membuatnya terasa sejuk di musim pancaroba ini.

Azan berkumandang dari surau, ia pun beranjak ke kulah atau kamar mandi untuk berwudu. Namun, niat itu urung karena ia menjumpai seonggok kutang berwarna emas di lantai. Dirinya mengingat-ingat kalau saja ia memiliki beha seperti itu, tetapi nihil. Dalaman itu terlalu bagus untuk rakyat jelata sepertinya. Detik itu juga ia tahu si pemilik dalaman kekuningan itu.

Amarah dan rasa malu memuncak. Berbagai pertanyaan dan prasangka mengendap di kepalanya. Itu pasti suaminya yang membawa kemudian tak disadarinya terjatuh. Tapi kenapa pria berkarisma itu membawa-bawa kutang milik Niskala? Untuk apa?

Karisma Tarangga lenyap. Siwi menjadi risi dengan suaminya itu. Tarangga sudah tidak jelas, edan.

Dengan langkah tergopoh-gopoh, ia telusuri jalan setapak menuju keraton. Mukanya merah padam dengan peluh membanjir. Dadanya bergemuruh. Ia marah atas pengkhianatan suaminya yang berkelanjutan. Ia pun malu jika ada masyarakat yang mengetahui perilaku sang dalang yang banjir pujian itu.

"Mbak Siwi mau ke mana?" Pertanyaan dari tetangganya tak ia abaikan. Ia menjawab ala kadarnya dengan senyum yang dipaksa tersungging dan air mata yang tertahan.

Sesampainya di luar gerbang keraton, ia langsung masuk dengan lancang. Mencari-cari letak bangsal karawitan. Entah berapa menit ia berlalu lalang seperti orang tersesat sampai menemukan sumber suara gamelan dan sinden yang mendayu-dayu.

Ia terobos semua yang menghalanginya. Amarah yang sedang mendidih semakin mengepul lantaran dijumpainya sosok pembunuh bayinya di samping sang putri keraton.

Dunia terasa berhenti sepersekian detik. Udara pun lupa ia hirup. Kakinya lemas, kepalanya berat, air matanya mengucur deras. Namun, itu justru membuat niat Siwi semakin bulat. Ia seperti dikelilingi kobaran api ketika berjalan ke dalam bangsal.

Ia tidak bisa merelakan anak sekaligus suaminya direnggut oleh orang yang mengelu-elukan darah birunya. Ia kalut, menunjuk-nunjuk sang putri yang menjelma menjadi sinden dengan telunjuk pucuking eri-nya. Gusti Ayu itu selalu ditemani Mbok Inah. Walhasil Siwi tahu bahwa Ni Puri adalah emban Gusti Ayu, yang menggugurkan kandungannya tanpa sebab yang jelas.

Semua yang ada di bangsal itu tentu saja terkesiap. Terlebih lagi Tarangga. Sikap Siwi yang kalut dengan mata membulat sungguh tak beradab. Ia persis orang sinting ketika teriak-teriak.

"Dia! Dia, Mas. Dia yang membunuh bayi kita! Orang tua itu! Mas, percaya, Mas!" Siwi masih menunjuk Mbok Inah yang kian memucat.

Tarangga menghampiri istrinya, memaksanya untuk pergi dari tatapan heran orang-orang. Namun, Siwi tak goyah selangkah pun. Ia masih meraung-raung sambil mengeluarkan kata-kata kasar.

Manggala segera ambil alih. Ia himbau niyaga dan penghuni bangsal lainnya untuk meninggalkan tempat itu. Kini tersisa dirinya, Tarangga, Niskala, Mbok Inah, dan Siwi.

Penabuh bonang itu menyuruh semua untuk duduk. Ia perhatikan diam-diam Mbok Inah yang bergerak gelisah, Niskala yang terheran-heran, Tarangga yang mengendapkan amarah, dan Siwi yang kesadarannya di ambang batas.

Siwi mencengkeram lengan Tarangga dengan lemah. Kepalanya tertunduk-tunduk dan bahunya gemetar. Gelungnya terkulai. Tak mungkin Manggala menanyakan apa yang terjadi kepada perempuan kalut itu. Ia pun bertanya pada Tarangga yang lama sekali menjawab.

"Istriku keguguran. Katanya digugurkan oleh Ni Puri, entah siapa itu." Manggala menangkap nada ketidakpercayaan dalam kalimat sahabat dalangnya itu.

"Kapan itu?" Manggala mulai berwawancara. Kini ialah yang menunjukkan karismanya, mengalahkan karisma Tarangga yang mulai susut sedari lama karena kehilangan jati diri.

"Saat kita ke Vietnam."

Netra tajam Manggala langsung menusuk Mbok Inah yang terbanjiri keringat sebesar biji jagung. Kemudian ia beralih menatap Gusti Putri dengan kurang ajarnya.

Tidak tahan dengan tatapan itu, Mbok Inah beringsut ke hadapan Siwi yang setengah sadar kemudian bersujud. "Saya bersalah. Saya yang membunuh si jabang bayi. Saya yang menyamar sebagai Ni Puri."

Siwi meraung-raung lagi, takut pada sosok ringkih yang sedang bersujud di hadapannya itu sementara yang lain tercekat, terutama Niskala. Putri itu mendapat tatapan ganjil dari Tarangga dan Manggala.

"Mbok! Apa yang kau katakan? Kenapa melakukan dosa besar itu, Mbok?!" Niskala histeris. Ia pasti akan dituduh biang kerok kematian si jabang bayi.

Siwi masih saja menjerit-jerit di pelukan suaminya. Manggala pun menarik pelan Mbok Inah dengan segala penyesalannya. Sementara Niskala, tatapannya antara kecewa dan takut. Kecewa embannya telah berlaku salah tanpa memberi tahunya dan takut akan segala tuduhan yang belum ditampakkan.

"Mbok, atas suruhan siapa?" tanya Manggala dengan pelan.

Mbok Inah hanya menutup wajahnya dengan tubuh gemetar, tak mampu berkata-kata.

Bangsal itu menjadi gremeng-gremeng kepiluan dari dua orang wanita yang kemudian disusul isakan lirih Sang Putri yang tidak siap kena kecaman.

"Siapa, Mbok?" Berkali-kali Manggala mendesak dengan halus, disaksikan oleh Tarangga yang mengilatkan amarah melalui netra elangnya.

"Raden Ayu Niskala." Detik itu juga, Niskala berdiri dengan tatapan terluka. Bersamaan dengan tatapan mencela dari Tarangga dan Manggala.

"Mbok Inah! Kapan aku menyuruhmu?! Bahkan aku tidak tahu-menahu kejadian nahas itu! Jangan menjadikanku kambing hitam, Mbok! Jangan kurang ajar!" Untuk pertama kalinya sang putri keraton murka dan isaknya surut. Teriakan itu menggema hingga luar bangsal, mengejutkan niyaga dan sesepuh yang sedari tadi mencuri dengar.

"Jelaskan lebih lengkap pada Sang Prabu," tutur Manggala, tidak takut terhadap tatapan maut dari Niskala.

WikramaМесто, где живут истории. Откройте их для себя